Nakita.id - Di era media sosial ini, banyak kasus pelaporan nama baik dan sebagainya.
Hal itu atas dasar kerasnya sindiran dan sarkasme di media sosial.
Salah satu yang kerap ditemukan yakni perkara membanding-bandingkan, entah pada anak atau pun para orang dewasa.
Melansir dari Kompas.com, pembandingan pada anak rupanya tak baik bagi psikologis, baik anak bahkan ibunya sendiri.
Bagi ibu, pembandingan seringkali mengakibatkan mereka asal mencontoh apa yang dianggapnya baik dari media sosial.
Padahal, pola asuh anak merupakan hal yang personal sehingga berbeda bagi setiap anak.
Baca Juga: Rasa Bangga Berbahasa Indonesia Kian Luntur, Berhubungan dengan Pola Asuh?
"Mencontoh enggak masalah, tapi bisa jadi membuat orang tidak percaya diri. Misalnya, ASI orang lain kok bisa banyak sedangkan saya enggak lalu ASI jadi tidak keluar."
Hal itu diungkapkan oleh Psikolog klinis Liza M. Djaprie pada acara perayaan hari ibu bersama Mothercare di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (19/12/2018).
Liza mengatakan bila sebenarnya membandingkan bukan hal yang sepenuhnya dilarang.
Ketika perbandingan tersebut memunculkan sebuah masukan atau kritik membangun, hal itu justru bisa membuat seorang anak menjadi lebih baik.
Perbandingan juga perlu disampaikan dengan "bungkus" yang serapi mungkin kepada anak.
Jangan sampai anak justru merasa terbebani dan tertekan karena orangtuanya membandingkan dirinya dengan anak lain.
"Lebih baik langsung sampaikan kekurangannya apa. Karena sering mendengar perbandingan bisa memengaruhi kepercayaan diri mereka," tutur ibu empat anak itu.
Misalnya, ketika anak tidak berhasil menyelesaikan target sesuai usia sekolah, maka sebaiknya anak dibimbing dan disemangati untuk menjadi lebih baik. "Jadi lebih baik ke materinya langsung," tuturnya.
Baca Juga: Gadis 13 Tahun Gantung Diri Karena Sang Ibu Lebih Sayang pada Anjing
Bahkan, menurut psikolog Kathy Sela, melalui Kompas.com ia mengatakan bila membandingkan merupakan hal yang normal.
Akan tetapi, memberi nilai positif saat membandingkan.
Misalnya, ketika anak tidak berhasil menyelesaikan target sesuai usia sekolah, maka sebaiknya anak dibimbing dan disemangati untuk menjadi lebih baik.
Setiap anak pasti memiliki kemampuan masing-masing dalam tumbuh kembang.
Bisa saja, Si Kecil kurang mahir dalam satu hal namun di bidang lain ia memiliki bakat lebih.
Menurut Kepala Sekolah Dasar Olifant Jogjakarta, Mariana Hastuti, dikutip dari Kompas.com dari Sahabat Keluarga Kemendikbud, hyper parenting merupakan usaha yang dianggap "baik" dan dilakukan orang tua dalam pola pengasuhan, tujuannya untuk memberikan stimulasi "positif" kepada anak tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau kemampuan anak tersebut.
Shopee Bersama Tasya Kamila dan Bittersweet by Najla Ceritakan Dampak Positif Inovasi dalam Berdayakan Ekosistem
Source | : | Kompas.com,Nakita.id |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR