Nakita.id- Boleh jadi orangtua yang menyebut anaknya kasar dengan “Si Goblok” atau “Si Biang Kerok” dan sejenisnya menganggap semua itu sebagai hal biasa saja.
Bahkan, julukan semacam itu mungkin diberikan dengan harapan anak yang bersangkutan menyadari kekurangannya.
Mungkin Moms tak pernah membayangan bahwa julukan buruk, sebutan negatif, komentar melecehkan, kritik yang bernada menghina.
Namun, ungkapan yang merendahkan itu memberikan pesan yang luar biasa negatif kepada anak-anak tentang siapa diri mereka.
Banyak anak yang mengalami kekerasan secara verbal (menggunakan kata-kata) menyangkut penampilan fisik mereka, kecerdasan, kemampuan, hingga nilai mereka sebagai manusia.
Menurut DR. Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents, kekerasan secara verbal disampaikan melalui dua gaya.
Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak dengan sebutan kasar.
Contohnya adalah memberikan julukan-julukan seperti yang disebutkan di atas, termasuk menyebut si anak “tak berguna” atau yang paling keras adalah menyatakan “menyesal telah melahirkannya.”
Semua itu memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak, dan memengaruhi citra diri mereka.
Citra diri yang negatif itu di kemudian hari menyebabkan anak tidak mampu tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri.
Anak akan memiliki rasa malu yang kuat, bersikap ragu-ragu, dan lebih suka menarik diri dari pergaulan.
Meskipun sudah bisa membuktikan dirinya sebagai orang yang sukses dan dapat menghidupi keluarganya secara baik, ia tetap tidak percaya diri dan menyimpan perasaan malu luar biasa.
Pada anak yang lain, citra diri negatif tersebut bahkan dapat membentuknya tumbuh sebagai pribadi pemberontak, kasar, bodoh, jorok, lamban, pengacau, dan sebagainya.
Dengan kata lain, jika kita sebagai orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang baik, sehat, cerdas, berbudi luhur, tentu kata-kata, sikap, dan perilaku kita pun harus sesuai dengan harapan tersebut.
Pada umumnya, saat anak berkata kasar, ia belum memahami benar arti kata-kata yang ia ucapkan.
Jadi, anak mengatakan hal itu bukan bermaksud memaki, tetapi semata-mata hanya sekadar meniru. Apalagi jika reaksi lingkungan mendukung hal itu.
Bukankah bila ada anak yang lebih besar mengatakan si “gendut” atau ”hitam”, biasanya akan diikuti dengan sorakan atau tertawa?
Pertama, karena kata-kata tersebut mungkin hal baru didengar baginya. Kedua, karena reaksi yang muncul diasosiasikan dengan kelucuan atau hal yang menyenangkan.
Tentunya orangtua tak boleh berdiam diri. Moms perlu meluruskan sikap atau perilaku anak agar tidak menimbulkan hal-hal negatif lain.
Apalagi kalau sampai menganggap, anak berkata kasar adalah hal biasa-biasa saja, bukan sesuatu yang ”tabu”.
Baca Juga: Doddy Sudrajat Bersyukur Vanessa Angel Temukan Sosok Papa Baru dan Beri Doa Tulus:
Moms, Yuk Wujudkan Tubuh Sehat di Tahun Baru dengan Kesempatan Emas dari Prodia Ini!
Source | : | Kompas.com,Tabloid Nakita |
Penulis | : | Safira Dita |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR