Menurut Ajeng Raviando, Psi, seorang Psikolog Anak dan Keluarga saat diwawancara Nakita.id, mengatakan, saat ini tindakan labelling tidak hanya menggunakan kata-kata negatif seperti ‘malas’, ‘nakal’, ‘bodoh’, tetapi juga kata-kata positif, seperti ‘cantik’, tampan, ‘pintar’, dan lainnya.
Ia bahkan mengaku, saat ini lebih sering menemui orangtua melabel anaknya dengan kata-kata yang positif dibandingkan dengan kata-kata negatif.
"Mungkin maksudnya orangtua ingin memotivasi anak, sayangnya jika labelling tersebut tidak sesuai dengan potensi anak justu kasihan untuk si anak.
Dirinya tidak tahu potensinya dia dimana,” ujar Ajeng saat ditemui Nakita.id di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin (10/9/2018).
"Kalau label negatif, efeknya lebih negatif, konsep dirinya jadi berkurang. Anak seringkali jadi minder karena tidak bisa mengubah perilaku menjadi lebih baik lagi, sehingga ia bisa putus asa," ungkap Ajeng.
Senada dengan Ajeng, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi., Psikolog Anak dan Keluarga, dari Universitas Indonesia, saat diwawancara Nakita.id, menjelaskan bahwa efek labelling itu tidak melulu negatif, ada juga yang positif.
Labelling bisa memotivasi seseorang untuk mencapai seperti yang diharapkan, sebab labelling sama seperti memberikan label di kaleng makanan.
Disebutkan jika Moms sering memberi label si Kecil sesuai dengan apa yang menjadi impiannya, kelak anak akan mudah mengejarnya.
Namun, di balik efek positif tersebut, tersimpan pula efek negatif bila tindakan labelling diberikan secara terus-menerus dan tanpa pembuktian.
“Efek negatif labelling itu banyak yang negatif.
Efek negatif labelling itu adalah membatasi,” ujar Anna Surti Ariani atau yang akrab disapa Nina ini saat ditemui di kawasan Depok, Jawa Barat, pada Kamis (13/9/2018).
Bantu Kurangi Tanda Penuaan Dini, Collagena Hadir Penuhi Kebutuhan Kolagen Sebagai Kunci Awet Muda
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Safira Dita |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR