Nakita.id - Belakangan ini kasus klaim obat Covid-19 beredar melalui media sosial hingga WhatsApp.
Padahal sampai sekarang Badan Organisasi Kesehatan Dunia belum mengumukan obat yang dapat menyembuhkan Covid-19.
Menyikapi maraknya klaim obat Covid-19, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengadakan konferensi pers virtual pada Senin (10/8/2020).
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI mengatakan permasalahan konsumen selama pandemi dominan mengarah pada harga masker, hand sanitizer, dan obat-obatan.
"Sejak Maret-Juni (aduan masyarakat) dominan masalah tentang harga masker, hand sanitizer, dan obat-obatan menempati 33,30 %," kata Tulus.
Dari aduan konsumen ini Tulus kemudian merangkum beberapa penyebab utama terjadinya masalah.
"Selama ini kita mengira aman tetapi faktanya minus 5,13 % dan Indonesia di ambang retensi apalagi di ASEAN artinya penanganan wabah pemerintah terlalu keliru terlalu mengutamakan aspek ekonomi," jelas Tulus.
Selain itu aspek tekanan psikologi konsumen juga menyebabkan kasus klaim obat Covid-19 banyak beredar.
"Covid-19 belum ada obat atau vaksin sehingga masyarakat mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Sebenarnya secara undang-undang kita boleh menjalani pengobatan secara mandiri tetapi kalau untuk kemudian produk itu dikomersialisasi itu menjadi persoalan," kata Tulus.
Kemudian lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat-obatan juga menyebabkan kasus klaim obat Covid-19 beredar.
Salah satu jalan keluar mengatasi kabar klaim obat yang dapat menyembuhkan Covid-19 adalah meningkatkan literasi masyarakat terhadap obat, jamu, dan herbal.
"Jamu dan herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Badan kita kan butuh tentara untuk menghadapi musuh.
Nah si herbal ini tugasnya membentuk badan kita menyiapkan tentaranya. Bukan mematikan si virus (Covid-19) kalau si virusnya tidak akan mati dengan herbal itu.
Tapi harapannya dengan tentara yang cukup di badan kita si musuh itu akan kalah gitu," ucap Dra. Mayagustina Andarini, M.Sc., Apt, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetk Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI).
Maya mengucapkan jangan berharap kalau kondisi seseorang sudah parah bahkan menggunakan respirator, herbal atau jamu tetap tidak bisa membantu.
"Ada fase-fase tertentu yang di mana kita masih bisa dibantu oleh si herbal itu atau suplemen yang bisa meningkatkan daya tahan tubuh kalau kondisinya ringan. Kalau kondisinya berat tentunya akan berbeda lagi penanganannya," kata Maya.
Kalau orang tanpa gejala (OTG) sebenarnya dengan gaya hidup sehat, nutrisi cukup, istirahat baik, sudah sembuh tidak perlu dengan tambahan-tambahan yang sebenarnya percuma, sambung Maya.
"Tapi herbal ini sebenarnya ada baiknya. Herbal kan sebenarnya kebudayaan kita. Dulu kan kita juga minum beras kencur, kunyit asam, jamu-jamu kan hal yang biasa. Kalau kita budayakan lagi kenapa tidak?
Itu juga akan memperbaiki sistem tubuh kita kok. Asal bahan bakunya benar, sumbernya betul, kita mengolahnya baik, kita buat minuman sehari-hari kenapa tidak? Orang barat tidak punya loh.
Baca Juga: Penderita Diabetes Lebih Rentan Terkena Covid-19, Ketahui Cara Mencegah dan Pengobatannya
Sanksi obat overclaim tentu saja macam-macam ada yang berupa pembatalan izin edar, peringatan, bisa sampai pidana, tergantung masalahnya apa," ucap Maya.
Kesimpulannya, Maya menyarankan masyarakat tidak mudah percaya dengan obat yang klaim dapat menyembuhkan Covid-19.
"Lab BSL-3 di Indonesia baru 3 seperti LIPI. Jadi kalau ada obat herbal yang bisa mematikan virus ini di lab yang mana ya?
Karena di Indonesia baru 2 dan protapnya ketat sekali karena urusannya mematikan virus yang ada di dalam tubuh bukan di luar tubuh.
Misalnya virus dikasih alkohol matikan. Bukan berarti alkoholic itu dia antivirus ya enggak, akan berbeda. Sistem di luar dan di dalam itu berbeda. Jangan seperti Trump disuruh minum disinfektan mau," ujar Maya.
Penulis | : | Cecilia Ardisty |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR