Nakita.id – Sekolah tempat anak tumbuh dan belajar, juga menjadi tempat bekembangnya difteri.
Hal ini disampaikan oleh dr. Elizabeth Jane Supardi, MPH, Dsc, Direktur Surveillance dan Karantina Kesehatan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan Indonesia.
“Pemicu utama difteri adalah orang-orang yang berkumpul, seperti sekolah, kantor, pesantren, dan asrama-asrama,” kata Jane saat ditemui di Kantor Kementerian Kesehatan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Jakarta Pusat.
Wanita yang akrab disapa Jane ini mengungkapkan, bakteri difteri adalah bakteri yang hidup di dalam tubuh manusia, dan "tumbuh subur" di tempat tempat berkumpulnya banyak orang.
Karenanya difteri termasuk penyakit komunal.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia menyatakan hingga per 2 Januari 2018, dari 2017, angka kasus difetri di Indoensia telah mencapai 939 kasus dengan kasus kematian mencapai 45 orang.
Dari total jumlah kasus tersebut, 77% diantaranya merupakan anak usia sekolah, yakni antara 5-19 tahun.
BACA JUGA: KLB Difteri 2017. Penyakit Difteri Tak Hanya Berbahaya Bagi Penderita, Tapi Juga Lingkungan
Oleh karena itu, Jane menjelaskan bahwa setiap orangtua harus memerhatikan riwayat imunisasi anaknya, karena ketika di sekolah anak-anak sangat rentan terkena bakteri difteri.
“Kalau anak yang belum sekolah lalu dia tidak imunisasi kadang dia masih sehat tidak terinfeksi. Tetapi ketika dia mulai masuk sekolah, dia bisa bertemu dan berkumpul dengan anak-anak yang membawa bakteri atau carrier lainnya. Saat itulah kemungkian besar terjadi penyebaran,” ujarnya.
Setiap tahun, pemerintah memang selalu mengadakan imunisasi rutin di setiap sekolah.
Namun Jane mengatakan, imunisasi yang dilakukan pemerintah dilakukan pada bulan November, sedangkan masuknya anak-anak sekolah terjadi di bulan Juli.
Selama rentang waktu November ke Juni tersebut tak menutup kemungkinan anak-anak sudah terlebih dahulu saling bertukar bakteri diferi.
“Imunisasi pemerintah dilakukan di bulan November sedangkan anak-anak sekolah masuk di bulan Juli. Nah sudah duluan terjadi KLB (difteri) disitu itu,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Jane menjelaskan bahwa seharusnya Indonesia bisa mengkuti aturan-aturan yang ada di negara-negara maju.
Dimana kartu imunisasi digunakan sebagai syarat untuk mendaftar sekolah dan kerja.
“Di negara maju, mereka sudah ada sistim untuk mendaftar ditingkat SD, SLTP, STLA, dan bahkan kerja syaratnya harus membawa kartu imunisasi,”
BACA JUGA: Angka Difteri Pada Usia Dewasa Meningkat, Moms Lakukan Vaksin Di Sini!
Jane menyampaikan bahwa saat ini Kementerian Kesehatan bersama Kementrian Pendidikan sedang membuat rencana untuk menjadikan catatan imunisasi anak sebagai salah satu syarat anak untuk bersekolah.
“Minggu lalu, Ibu Menteri sudah beraudiensi ke Bapak Menteri Pendidikan dan ini sudah disampaikan akan dikaji nanti peraturannya seperti apa,”
Jane menegaskan, jika aturan ini tidak akan mempengaruhi masuk tidaknya anak disekolah yang diinginkan.
Dengan adanya aturan ini, Jane berharap informasi tentang kelengkapan imunisasi pada anak dapat dideteksi sejak dini.
Sehingga orang tua sadar bahwa anak mereka harus imunisasi atau melengkapi imunisasinya
“Bukan untuk ditolak. Jangan takut setelah aturan ini berlaku anak tidak boleh sekolah. Nanti hanya akan dibantu untuk melengkapi imunisasinya. Jadi, kalau bisa pada waktu penerimaan sekolah dimulai, daftar imunisasi anak sudah lengkap. Tetapi kalau belum lengkap tidak apa-apa, nanti akan diatur bersama puskesmas untuk mengatur waktu dan melengkapi daftar imunisasinya,” tambah Jane.
Tidak hanya bersama Kementrian Pendidikan, Jane juga berharap aturan ini dapat digunakan pula oleh beberapa lembaga negara lainnya, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan bisa menerapkan aturan-aturan yang ada di negara maju.
Nah, Moms kita tunggu saya ya kapan aturan ini akan mulai diberlakukan di Indonesia.
Penulis | : | Fadhila Auliya Widiaputri |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR