Tabloid-Nakita.com - Kejadian ini mungkin familiar bagi Mama Papa: si kecil menarik-narik baju kita, membuat kita menoleh dari apa pun yang sedang kita kerjakan. Lalu, ia menunjuk benda di atas meja. Mama atau Papa melihat ada dua benda di atas meja: botol minuman dan mainan si kecil. Apa yang akan kita lakukan?
Secara naluri, kita akan menunjuk salah satu benda, misalnya botol minuman, sambil berkata, “Adek mau minum?” Si kecil akan merespons dengan menggeleng atau menganggukkan kepala. Jika ia menggeleng, kita akan menunjuk benda lainnya—mainan —sambil bertanya, “Atau mau ambil mainan?”
Menarik baju orangtua, menunjuk, menggeleng, dan mengangguk merupakan bahasa isyarat anak untuk berkomunikasi, jauh sebelum ia dapat mengucapkan kata-kata yang berarti.
Bila mendengar istilah “bahasa isyarat”, kebanyakan dari kita akan berpikir tentang orang-orang dengan ketidakmampuan tertentu alias difabel. Padahal, penggunaan bahasa isyarat anak di usia batita wajar, bahkan setiap anak batita akan lebih mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Ini adalah perkembangan dari komunikasi sederhana yang ia ketahui di awal hidupnya, yaitu menangis. Sebelumnya, ia menangis untuk apa pun: lapar, popok basah, takut, dan sebagainya.
Sebelum memiliki kemampuan bahasa yang optimal, batita akan melalui fase “berkomunikasi” dengan satu suku kata (misalnya: pa, ba, bu, atau ma), ditambah bahasa isyarat. Selain menangis, tersenyum, dan tertawa, bahasa isyarat lain yang sering ditunjukkan antara lain: mengajak (menaik-turunkan jari-jari tangan), menunjuk sesuatu, melarang sesuatu (menggelengkan kepala), atau instruksi-instruksi sederhana seperti: good bye (melambaikan tangan ke kanan dan ke kiri), mengajak tidur (menutup mata), atau makan (mengerucutkan jari tangan dan mengarahkannya ke mulut).
Jadi, kalau si kecil mulai menunjukkan gerakan-gerakan dengan tangannya, coba pahami ya, Mam. Dengan bahasa isyarat inilah batita berkomunikasi dengan orang di sekitarnya.
Narasumber: Weni Endahing Warni, MPsi, Psikolog Universitas Hang Tuah, Surabaya
(Amanda Setiorini)
KOMENTAR