Nakita.id - Belum lama ini, seorang pengguna Twitter bercerita tentang pengalaman tak mengenakkan yang terjadi pada dirinya.
Diketahui, ia mencurahkan kekesalannya karena kejadian pelecehan seksual yang menimpanya saat menghadiri sebuah acara.
Ia mengaku dipeluk dari belakang tanpa persetujuan dari sang pelaku di keramaian.
Kasus pelecehan seksual tersebut menyeret nama salah satu public figure, yaitu Gofar Hilman.
Dalam utasnya, orang yang mengaku sebagai korban pelecehan tersebut mengatakan kejadian tersebut sudah terjadi beberapa tahun lalu.
Ia baru mengatakannya sekarang dan meminta informasi mengenai bantuan hukum dari warganet karena trauma yang dihadapinya pasca kejadian.
Seketika kasus yang menyebar melalui Twitter tersebut langsung ramai.
Beberapa jam setelah kasus tersebut viral, akun media sosial Gofar Hilman bahkan tak menanggapi kasus tersebut.
Banyak orang yang bersimpati kepada korban karena telah berani menceritakan pengalamannya.
Namun, banyak juga yang malah menyalahkan pelaku karena baru menceritakan kasus tersebut saat ini dimana kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu.
Padahal, tak mudah bagi korban untuk langsung melakukan tindakan karena trauma yang dialaminya.
Tahukah Moms, bahwa sikap menyalahkan korban ini ada istilahnya tersendiri.
Victim blaming adalah sebutan untuk sikap menyudutkan atau menyalahkan korban saat berusaha untuk meluruskan ketidakadilan yang dialaminya.
Baru-baru ini di dunia maya, victim blaming terus-terusan terjadi terutama dari banyaknya orang yang meluapkan kegusarannya sebagai korban pelecehan seksual.
Sikap victim blaming berbahaya untuk kondisi psikologis korban. Bagaimana bisa?
Menurut The Atlantic, victim blaming terjadi karena seseorang tak mau berempati kepada korban.
Bisa dikatakan seseorang melakukan victim blaming adalah sebuah reaksi psikologis terhadap suatu tindakan kriminal.
Sebab, pada umumnya masyarakat cenderung akan melakukan antisipasi agar tindakan kriminal tak terjadi pada dirinya.
Karena melakukan antisipasi, seseorang bisa merasa aman dari gangguan tindakan kriminal.
Menurut Barbara Gilin, profesor di Widener University di Pennsylvania, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa seseorang bisa melakukan victim blaming karena ingin membuktikan bahwa dirinya lebih aman daripada korban.
"Menurut saya, victim blaming membuat mereka berpikir bahwa kejadian buruk tak pernah terjadi pada dirinya. Dengan melakukannya, hal ini membuat mereka merasa aman," jelas Gilin.
Sehingga, banyak orang yang mempertanyakan apakah korban tak melakukan antisipasi agar tindakan kriminal terjadi padanya.
Dari kebanyakan kasus, orang yang melakukan victim blaming tidak bermaksud untuk menyalahkan korban.
Baca Juga: Trauma Akan Pelecehan Seksual di Masa Kecil, Cara Ini Bisa Jadi Solusi yang Tepat untuk Mengatasinya
Sering kali tak disadari, kata-kata yang digunakan saat menanggapi sebuah tindakan kriminal cenderung menyudutkan korban.
Tak hanya terjadi dalam kasus pelecehan seksual, sikap victim blaming juga bisa terjadi di setiap tindakan kriminal.
Misalnya, seseorang baru saja kecopetan.
Paling tidak ada kecenderungan orang untuk mengatakan, 'mengapa tidak menyimpan dompet di tempat yang lebih aman?'.
Mendengar hal ini, korban akan cenderung semakin terpuruk dan merasa bersalah.
Menurut Verywell Minds, dengan merasa bahwa dunia adalah tempat yang adil dan orang berhak mendapatkan ganjarannya, lalu menyudutkan korban adalah hal yang tidak baik.
Sebab, menyudutkan korban tak membuat keadaannya semakin baik, dan hanya memperburuk kondisi psikologisnya.
Sikap victim blaming pada korban pelecehan seksual hanya akan menyebabkan korban semakin khawatir, dibanding menenangkan korban.
Inilah yang menyebabkan korban pelecehan seksual cenderung kesulitan untuk menceritakan kembali apa yang sudah dialaminya.
Sehingga kedepannya, korban hanya bisa memendam kesedihan, marah, dan rasa bersalah.
Dilansir dari U.S. News, Dr. Anju Hurria, psikiater dan dosen di University of California-Irvine mengatakan, victim blaming hanya akan menambah trauma bagi korban.
Baginya, sikap victim blaming malah sebuah bentuk perundungan yang diterima korban untuk kedua kalinya setelah kejadian yang menimpanya.
Dari pengalamannya menangani korban-korban pelecehan seksual, Hurria menemukan banyak pasiennya yang juga mengalami kecemasan tidak akan dipercayai oleh siapapun.
Belum lagi, korban berpotensi untuk mendapatkan tanggapan yang kurang baik saat melaporkan kejadiannya.
Dampaknya, korban akan semakin berisiko mendapatkan gangguan pascatrauma atau post-traumatic stress disorder.
Perundungan pada korban juga hanya akan menambah gejala depresi.
Tambahnya, victim blaming juga hanya akan memperburuk gejala kecemasan.
Sebab, sebagai perundungan yang diterima untuk kedua kalinya, korban victim blaming akan merasa semakin malu.
Korban juga akan semakin kesulitan untuk terhubung dengan perasaannya dan orang lain.
Menurut Hurria, akan semakin parah jika keluarga korban memutuskan untuk tak melakukan apapun karena diketahui pelaku adalah salah satu anggota keluarga.
Kondisi psikologis korban akan semakin terpuruk jika lingkungannya tak bisa mendukung demi kesembuhannya.
"Tak ada orang yang pantas untuk disakiti," ucap Jen Marsh, wakil ketua Rape, Abuse, and Incest National Network, organisasi di Amerika Serikat yang menyediakan pelayanan bagi korban-korban pelecehan seksual.
Source | : | The Atlantic,Verywell Mind,U.S. News,stoprelationshipabuse.org |
Penulis | : | Amallia Putri |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR