Memang ada banyak sekali mitos hamil yang berkembang dan setiap orang bisa jadi punya persepsi yang berbeda antara satu dan lain. Ketika urusannya adalah tentang hamil itu menular, tentu tidak terbukti jika dikaitkan dengan aspek medisnya.
Namun demikian, akan berbeda kondisinya apabila berbicara tentang aspek psikologis. Siapa bilang pertemanan tidak bisa memengaruhi keputusan seseorang untuk ikut hamil dan siap menjadi orangtua? Tentu bisa.
Analoginya seperti ini. Mungkin saja di sebuah lingkaran pertemanan yang sama-sama sudah menikah, konsep hamil atau memiliki anak belum terlintas karena banyak pertimbangan lain.
Namun, ketika ada satu atau lebih di antara mereka yang hamil, melahirkan, hingga akhirnya menjadi seorang ibu, hal itu bisa memengaruhi keputusan mereka yang belum. Mereka yang tadinya tidak yakin, menjadi yakin.
Mereka yang tadinya ragu, menjadi semakin mantap. Terlebih, kehamilan pertama juga memberikan beragam dampak. Pertama, jelas urusan finansial. Pengeluaran akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan saat belum hamil.
Kedua dan yang paling penting dalam kaitannya dengan “hamil menular” adalah dampak sosial. Gaya hidup, pertemanan, hingga karir seseorang tak akan lagi sama seperti sebelumnya.
Ibaratnya ketika menjadi orangtua, mereka tak bisa lagi leluasa menonton konser hingga larut malam.
Karier pun kadang menjadi prioritas kesekian ketika ada urusan yang lebih penting terkait anak. Pertemanan?
Kadang waktu untuk sekadar berkumpul saja menjadi langka. Jelas, ada banyak dampak atau cost sosial yang harus dikorbankan.
Nah, ketika seseorang menghadapinya bersama-sama, akan muncul rasa “senasib dan sepenanggungan”.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR