Nakita.id - Penelitian terbaru Oxford Economics dan SAP telah mengungkapkan bahwa masih perlu upaya lebih untuk mendorong nilai dari keberlanjutan bagi dunia usaha di seluruh Indonesia.
Meskipun 69 persen usaha mengaku tidak sulit untuk menerapkan keberlanjutan dan tetap menguntungkan.
Namun hanya 13 persen yang mengaku strategi keberlanjutan mereka hari ini telah mencapai hasil yang bernilai.
Hal ini mungkin terjadi karena masih ada celah antara rencana dan tindakan keberlanjutan pada banyak perusahaan.
Kurang dari setengah bisnis di Indonesia tepatnya sebanyak 46 persen memiliki rencana keberlanjutan yang dikomunikasikan dengan jelas.
Sehingga hanya ada 13 persen yang memberi insentif kepada para pemimpin berdasarkan sustainability success dan bahkan kurang dari dua per lima atau sebanyak 38 persen yang karyawannya merupakan peserta aktif dalam upaya keberlanjutannya.
Verena Siow, President and Managing Director, SAP South East Asia dalam Online Media Session dengan tema “Closing the Green Gap in Southeast Asia” pada hari Senin (07/11) mengakui ini adalah sesuatu yang menggembirakan karena artinya dunia usaha di seluruh Asia Tenggara semakin memperhatikan praktik keberlanjutan di seluruh rantai pasokan mereka, termasuk pemasok mereka.
“Tidak ada waktu yang disia-siakan untuk bergerak di luar strategi dan mencapai hasil yang jelas dan nyata. Dalam tiga tahun, hampir sepertiga bisnis mengharapkan nilai signifikan dari strategi keberlanjutan mereka – dan kami percaya bahwa dengan fokus yang tepat, angka ini bisa lebih tinggi lagi,” ungkap Verena Siow.
Strategi keberlanjutan di Indonesia saat ini utamanya didorong oleh regulator.
Responden survei mencatat bahwa pendorong utama keberlanjutan dalam bisnis mereka adalah mandat regulasi usaha (60%).
Artinya nilainya lebih besar dibandingkan permintaan pelanggan (54%) dan reputasi pasar (54%).
Baca Juga: Rekomendasi Usaha Sampingan di Rumah Tanpa Modal, Yuk Simak Triknya!
Penulis | : | Nita Febriani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR