Mengutip dari Kompas, secara filosofis, motif batik parang memiliki arti untuk tidak pernah menyerah sedangkan kontinuitasnya bermakna sebuah perjuangan yang tidak pernah putus.
Selain itu, garis yang miring di motif ini merupakan lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Terlepas dari desain dan keindahannya, ternyata motif batik parang ini tidak bisa dipakai sembarang orang, karena motif ini biasanya hanya dipakai kaum bangsawan.
Pada tahun 1785, bahkan muncul larangan secara resmi bagi rakyat jelata memakainya, bertepatan dengan era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta.
Motif parang menjadi salah satu batik larangan bersama dengan kawung, udan liris, dan beberapa desain lainnya.
"Parang barong hanya boleh dikenakan oleh raja, atau sering disebut dengan 'pengageman ndalem'. Motifnya bentuk dasarnya letter S yang jarak masing-masing diatas 12 cm," ujar Sekretaris Umum Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad, Murdijati Gardjito, dalam pemberitaan Kompas yang lalu.
Sementara motif batik parang lainnya seperti parang rusak Gendreh boleh dipakai oleh para keturunan raja atau sultan, istri para pangeran dan patih.
Sedangkan motif batik parang rusak klithik dipakai untuk istri dan selir para putra mahkota.
Oleh sebab itu, batik dengan motif parang sebaiknya memang tidak dipakai di area Kraton Solo maupun Yogyakarta.
Sehingga sudah jelas alasannya, mengapa batik parang lereng dianjurkan tak digunakan saat pernikahan Kaesang dan Erina yang berlangsung di Pura Mangkunegaran, Solo.
Apa Itu Silent Treatment? Kebiasaan Revand Narya yang Membuatnya Digugat Cerai Istri
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR