Nakita.id - Sebelum obat-obatan kimia modern, masyarakat dunia termasuk Indonesia menggunakan obat-obatan herbal untuk menyembuhkan penyakit dan berbagai gangguan.
Obat-obatan ini begitu diandalkan para tabib pada zaman dahulu dalam pengobatan tradisional.
Kini pengobatan herbal tetap menjadi primadona di kalangan masyarakat di tanah air.
Sebab, ada banyak kelebihan penggunaan obat-obatan herbal dibandingkan dengan obat kimia.
Apalagi bagi orang yang mengedepankan gaya hidup sehat, serba alami, dan peduli dengan lingkungan.
Ada beberapa kelebihan obat herbal, di antaranya adalah efek samping yang minimal.
Bahan-bahan obat herbal juga mudah ditemukan di lingkungan sekitar, bahkan jika pedesaan bahan-bahannya tersedia dengan cuma-cuma.
Meski tidak sekuat dan seefektif obat-obatan kimia, obat herbal efektif memulihkan kondisi atau membantu meredakan gangguan penyakit.
Nah, di antara berbagai obat herbal, obat fitofarmaka tetap menjadi yang terbaik.
Sebab, fitofarmaka dibuat dengan obat herbal tapi keamanan dan khasiatnya sudah dibuktikan secara ilmiah lewat uji praklinik (hewan percobaan) dan uji klinik (manusia) dan bahan baku serta produknya sudah distandarisasi.
Khasiatnya sudah mirip dengan obat kimia biasa, tentu dengan efek samping yang cukup minimal.
Baca Juga: 5 Pilihan Obat Diare Herbal Tradisional yang Berkhasiat, Apa Saja?
Fitofarmaka atau obat dari bahan alam yang telah teruji klinis dapat menjadi kunci utama kemandirian farmasi nasional, namun masih belum banyak dokter yang meresepkannya kepada pasien.
Oleh karena itu PB Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan PT Dexa Medica dan menyelenggarakan Seminar Series bertajuk "Seminar Fitofarmaka: Peran Dokter dalam Pemanfaatan Fitofarmaka Untuk Pelayanan Kesehatan".
Seminar dibuka oleh sambutan Ketua IDI Wilayah Jawa Barat dr. Eka Mulyana, SpOT(K)., FICS., M.Kes., SH., MH.Kes. dan dilanjutkan dengan keynote speech dari Ketua Umum PB IDI Dr. dr. Adib Khumaidi, SpOT. Menurut dr. Eka, pengembangan Fitofarmaka sekaligus mendukung program pemerintah untuk mencapai kemandirian farmasi.
Dokter sebagai profesi medis, kata dr. Eka, harus memahami bahwa fitofarmaka dapat diresepkan sesuai kondisi pasien. Senada, dr. Adib menegaskan bahwa dokter memiliki peran penting agar Fitofarmaka semakin banyak digunakan.
“Yang paling penting adalah dukungan dari dokter Indonesia sendiri untuk kemudian kalau itu teruji klinis maka bisa diresepkan. Kalau sudah diresepkan, maka seharusnya dapat masuk fornas BPJS Kesehatan,” tutur dr. Adib dalam seminar yang digelar di Hotel Holiday Inn, Bandung, baru-baru ini.
Beliau menambahkan, obat berbahan alam di Indonesia dibagi dalam tiga kelompok yakni Jamu yang berbasis empiris, Obat Herbal Terstandar (OHT) yang sudah melalui proses uji pra-klinik, dan Fitofarmaka yang sudah melalui uji pra-klinik dan juga uji klinik. “Sekarang ada namanya OMAI, Obat Modern Asli Indonesia,” imbuh dr. Adib seraya menambahkan bahwa pengembangan OMAI Fitofarmaka harus berbasis riset dan juga melibatkan kemitraan pentahelix.
Seminar ini dihadiri oleh para dokter yang tergabung dalam IDI Wilayah Jawa Barat dengan narasumber yakni Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Ditjen Farmalkes Kemenkes Dr. dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., Ketua Umum Perkumpulan Disiplin Herbal Medik Indonesia (PDHMI), DR. dr. Slamet Sudi Santoso, M.Pd.Ked, Director of Research and Business Development Dexa Group, Prof. Raymond Tjandrawinata, serta perwakilan Balai Besar POM Bandung Endang Yahya, S.Si., Apt. Selain itu juga ada paparan oleh praktisi kesehatan FK Universitas Padjajaran - Rumah Sakit Hasan Sadikin yakni dari Divisi Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam dr. Maya Kusumawati, Sp.PD, K-EMD dan dari Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Dr. dr. Sumartini Dewi, SpPD, KR, M.Kes, CCD, FINASIM.
Ibu Agusdini mengawali paparan dengan kilas balik awal pandemi COVID-19 di Indonesia, saat stok bahan baku obat yang tersedia hanya cukup untuk kebutuhan 4-5 bulan. Kondisi tersebut kemudian menyadarkan pemerintah untuk mendorong kemandirian farmasi di Indonesia, salah satunya melalui pengembangan OMAI Fitofarmaka. “Sedihnya, baru 22 item yang mempunyai izin edar Fitofarmaka,” ungkap Ibu Agusdini.
Terkait peluang pengembangan Fitofarmaka, menurut dr. Slamet sangat besar potensinya. Saat ini pun sudah banyak regulasi yang mendukung pengembangan Fitofarmaka.
“Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 Pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan tradisional dengan memberikan kepastian hukum bagi pengguna dari pemberi pelayanan kesehatan tradisional,” tutur dr. Slamet.
Obat tradisional dalam regulasi di Indonesia merujuk pada obat-obatan dari bahan alam. Padahal pengembangan obat berbahan alam saat ini sudah dilakukan dengan teknologi modern. “PT Dexa Medica sudah mengembangkan Obat Modern Asli Indonesia,” imbuh dr. Slamet.
Baca Juga: 4 Cara Menghilangkan Angin di Punggung, Tak Perlu Minum Obat Apalagi Sampai Kerok Badan!
Kemenkes Anjurkan Dokter Meresepkan OMAI Fitofarmaka
Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Ditjen Farmalkes Kemenkes Ibu Agusdini Banun Saptaningsih juga menyampaikan agar dokter tak perlu ragu meresepkan OMAI ke pasien. Hal ini karena Kemenkes telah merilis Formularium Fitofarmaka.
"Pada Mei 2022, Wakil Menteri Kesehatan dan Sekjen Kemenkes me-launching Formularium Fitofarmaka. Pembiayaannya bisa menggunakan dana kapitasi JKN, kemudian menggunakan Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum. Fitofarmaka juga sudah masuk dalam katalog elektronik pemerintah," ungkap Ibu Agusdini.
Ia juga meyakinkan para dokter bahwa OMAI Fitofarmaka dapat diresepkan kepada pasien. Peresepan Fitofarmaka untuk pasien harus merujuk pada Formularium Fitofarmaka.
"Banyak dokter yang belum paham cara menggunakan Fitofarmaka. Untuk itu, beberapa waktu lalu Kemenkes sudah bertemu dengan sejumlah Fakultas Kedokteran, Kemdikbudristek, dan KKI agar kurikulum obat tradisional di seluruh Indonesia diseragamkan," imbuh Ibu Agusdini.
Ketum PB IDI dr. Adib juga mengamini bahwa banyak sejawat dokter yang belum mengenal Fitofarmaka. Maka dari itu IDI berkomitmen untuk melakukan sosialisasi secara massif mengenai Fitofarmaka ke dokter-dokter di seluruh Indonesia.
“IDI adalah organisai profesi, akan siap membantu kaitanya dengan riset, sosialisasi dan punya komitmen untuk mendorong ketahanan kemandirian kesehatan,” ujar dr. Adib di sela-sela acara.
OMAI Fitofarmaka Telah Teruji Klinis
Director of Research and Business Development Dexa Group, Prof. Raymond memaparkan tentang Kejayaan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Menurut Prof Raymond, obat berbahan alam harus memiliki standar dan teruji baik secara klinis maupun pra-klinis. Dexa Group, kata Prof Raymond, telah menerapkan teknologi modern dalam pengembangan OMAI.
"Kita harus memastikan aspek keamanan OMAI. Badan POM sudah memiliki pharmacovigillance sehingga bisa memonitor aspek keamanan dari OMAI," ungkap Prof. Raymond.
Beliau kemudian mengambil contoh produk OMAI Redacid yang mampu membantu mengatasi masalah lambung. Redacid juga masuk dalam Formularium Fitofarmaka yang diluncurkan Kementerian Kesehatan pada tahun 2022.
Sebelum digelar di Bandung, Seminar Fitofarmaka oleh PB IDI dan PT Dexa Medica juga sudah digelar di Jakarta. Rangkaian seminar ini juga akan digelar di kota besar lainnya secara bertahap yakni Semarang, Surabaya, Palembang, dan Medan tahun ini.
Baca Juga: Efek Meningkatkan Gairah, Ini Cara Membuat Obat Kuat Oles dari Madu Bisa Gas Sampai Pagi
Penulis | : | Saeful Imam |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR