Nakita.id - Selasa (11/7/2023), DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang.
Mengutip dari Tribunnews, pengesahan ini disampaikan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam rapat paripurna DPR masa sidang V tahun sidang 2022-2023 yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Selasa (11/7/2023).
Bersamaan dengan pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan yang berlangsung di Gedung DPR RI, para tenaga kerja menggelar aksi massa di depan Gedung DPR RI. Dalam aksi massa tersebut, hadir Ketua Bidang Hukum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tangerang Selatan, Panji Utomo.
Melansir dari Tribunnews, Panju Utomo mengungkapkan bahwa proses RUU Kesehatan yang diinisiasi DPR dianggap tidak melewati naskah akademik.
"Antara mereka dan kita harusnya satu. Perlu diingat DPR itu dipilih oleh rakyat suaranya dari rakyat secara legitimasi. Sementara kita bagian dari rakyat yang masuk dalam satu komunitas namanya lembaga profesi," kata Panji di depan gedung DPR pada aksi demonstrasi tolak RUU Kesehatan, Selasa (11/7/2023).
Tak hanya itu, menurutnya tenaga kesehatan tidak pernah diajak berdiskusi terkait RUU.
"Kalau membuat rancangan undang-undang harus melampirkan naskah akademik. Kita tidak pernah diajak bicara, teman-teman, guru-guru kami mau di kedokteran dan perawat ridak pernah diajak berbicara," tegasnya.
Padahal seharusnya, dalam RUU harus memuat mekanisme secara akademik yang bersumber kelembagaan organisasi masyarakat atau institusi kampus.
"Itu harus diajak bicara, naskah yang memang bersumber dari kelembagaan, dari masyarakat atau dari institusi, kampus, itu bisa diajak bicara," tutupnya.
Hadir pula Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah dalam aksi massa tersebut.
Melansir dari Kontan, Harif Fadhilah juga menyampaikan poin keberatan terkait pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU. Menurutnya, ada 4 poin yang ditolak oleh PPNI dan organisasi profesi kesehatan lainnya.
Baca Juga: RUU Kesehatan Makin Ditolak dan Ada Ajakan Mogok Nasional, Begini Tanggapan Salah Satu Bidan
Pertama, pihaknya menganggap RUU Kesehatan ini dibuat seolah tergesa-gesa dan kurang transparan melibatkan stakeholder terkait termasuk organisasi profesi.
Bahkan hingga saat ini PPNI mengaku belum mendapatkan draft resmi RUU Kesehatan dari Kementerian Kesehatan maupun DPR.
"Sampai hari ini kami tidak mendapatkan akses terhadap draf RUU Kesehatan yang dibahas. Kenapa sampai demikian kami meminta akses? Karena kami tenaga kesehatan, khususnya perawat yang (jumlahnya) 60% dari seluruh jumlah nakes adalah stakeholder yang penting yang akan menjalankan UU itu bila sudah jadi," kata Harif pada media saat melakukan aksi demo di depan gedung DPR, Selasa (11/7), mengutip dari Kontan.
Ia membenarkan telah diajak dalam sesi dengar pendapat yang diadakan Kementerian Kesehatan untuk membahas RUU Kesehatan. Namun tidak satupun masukan dari PPNI yang diakomodir dalam draft RUU Kesehatan.
Kedua, soal penghapusan mandatory spending atau anggara belanja kesehatan dalam RUU Kesehatan ini.
Ia khawatir dengan dihapusnya mandatory spending juga akan berdampak pada pemberian gaji hingga kompensasi terhadap tenaga medis. Hal ini mengingat sebagian besar dari nakes masih berstatus honor dan sukarelawan.
"Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan? Saya kira akan semakin parah dan tidak mendapat kejelasan bagaimana mereka dibayar, sementara mereka sudah mengabdi puluhan tahun, belasan tahun kepada faskes milik pemerintah," jelas Harif.
Ketiga, dengan mengesahkan RUU Kesehatan ini sama dengan mencabut UU 38 Tahun 2014 tentang Sistem Keperawatan yang menyangkut pengembangan kapasitas perawat Indonesia yang sudah dikembangkan sejak lama.
"Ini berisi tentang bagaimana perawat berkembang, bagaimana kompetensinya, bagaimana dia praktik, dan bagaimana menjaga mutu dirinya. Ini dihilangkan, dicabut tanpa ada pasal pengganti yang spesifik bagi perawat," kata Hanif.
Terakhir, alasan PPNI menolak RUU Kesehatan karena memudahkan tenaga kesehatan asing beroperasi dalam negeri. Menurutnya hal ini akan mengancam lapangan kerja lulusan tenaga kesehatan untuk berkarir di dalam negeri.
"Kita lulusan perawat lebih dari 75.000 per tahun, mau kemana ini? Jangankan membuka peluang kerja, ini justru mengancam bagi keberadaan bagaimana ruang kerja perawat yang ada di dalam negeri," jelas Harif.
Baca Juga: Apa Saja Ya Kegiatan Puskesmas Keliling? Yuk Cek Selengkapnya di Sini
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR