Nakita.id - Setiap tahunnya, tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional.
Hari Anak Nasional ini merupakan momen penting untuk mengingat kembali harapan bangsa terhadap anak di masa depan, yakni generasi yang sehat, hebat, dan cerdas.
Jadi, jangan heran kalau Hari Anak Nasional diperingati sebagai bentuk kepedulian seluruh masyarakat Indonesia atas keamanan, kesejahteraan, serta kebahagiaan kehidupan anak.
Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional, tahun ini Nakita mengangkat topik tentang menjaga kesehatan mental anak dan remaja.
Menurut Anindya Dewi Paramita, M.Psi, seseorang itu hidup sehat bukan secara fisik saja.
Melainkan juga secara emosi dan pikirannya harus sehat.
"Terus kemudian juga, termasuk hubungan sama orang lain, sosialnya, juga spiritualnya," sebut psikolog anak yang akrab disapa Mita dalam wawancara eksklusif bersama Nakita, Jumat (14/7/2023).
"Itu yang termasuk ke dalam kesehatan mental," ucapnya dengan tegas.
Menurut psikolog di Lenting Indonesia ini, anak maupun remaja masih dalam tahap tumbuh kembang.
"Artinya, semuanya itu masih belum settle, masih belajar ini dan itu, masih mencoba menemukan dirinya juga, masih mencoba beradaptasi juga," terangnya.
"Sehingga, kalau kesehatan mentalnya lumayan terganggu, pastinya proses tumbuh kembangnya juga akan semakin terganggu," lanjutnya.
Mita bahkan menyampaikan bahwa di dalam proses tumbuh kembang itu ada masa dimana anak belajar mandiri, belajar di sekolah, belajar berteman, belajar beradaptasi, juga belajar mengenal dunianya.
"Nah, itu yang nanti prosesnya enggak smooth lagi, sehingga dampaknya pada akhirnya mungkin baru terasa di saat-saat itu," ungkapnya.
"Misalnya, muncul masalah-masalah baru atau nanti di jangka panjang, pas (anak) sudah besar. Jadi, baru kerasanya tuh enggak bisa-bisa atau enggak enak-enaknya, enggak lancar-lancarnya," katanya.
Mita menyebut ada dua dampak yang bisa terasa, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
"Kalau yang langsung tuh misalnya, anak ingin makan es krim tapi enggak boleh karena ada aturan dari orangtuanya setelah ada penjelasan, kesepakatan, dan sebagainya. Tapi, kita perlu juga mengajarkan anak bahwa (aturan) ini sebenarnya enggak bolehnya kenapa sih," kata Mita.
"Terus, kalau misalnya anaknya kemudian marah-marah dan memaksa, kita (orangtua) juga harus bisa handle dengan baik juga. Kita harus juga ajarin ke anaknya bahwa, 'Oh, ini yang dia rasain tuh emosinya enggak suka, kesal'. Jadi diajarin, supaya next time ketika dia (anak) ngerasain (emosi yang sama), dia bisa nge-deal sama emosi itu," jelasnya.
Mita menjelaskan, jika anak tidak diajarkan orangtuanya sejak dini, anak menjadi tidak belajar untuk melampiaskan emosi dengan baik dan benar. Bahkan, dapat merugikan orang lain.
"Misalnya, dia (anak) marah-marahnya lempar-lempar bantal, lempar-lempar barang," sebutnya.
"Itu kan juga salah satu bentuk secara mental mungkin dia belum matang emosinya, belum tahu bagaimana cara regulate-nya, belum tahu gimana cara ekspresiin yang baik itu," katanya menyampaikan.
Selain itu, tambah Mita, anak juga akan bingung bagaimana cara menyampaikan emosi yang sebenarnya.
Baca Juga: Waspada Bila Anak Susah Bergaul, Simak Dampak yang Ditimbulkan dan Cara Mengatasinya
Ditambah, orangtuanya juga ikut frustasi karena tidak paham kemauan anaknya.
"Pada saat itu, yang terjadi adalah masalahnya engga selesai," ungkap Mita.
Apabila orangtua mengabaikan kesehatan mental anak dan remaja secara terus-menerus, anak pada akhirnya tidak dapat belajar untuk mengelola emosinya dengan baik.
Menurut Mita, hal ini dikarenakan orangtua tidak mendampingi atau memberi contoh yang baik kepada anaknya.
"Jadi, ketika (anak) besar dan melakukan hal yang sama ketika marah, itu lebih sulit juga diterimanya. Akhirnya, mungkin dia (anak) terkendala di pertemanannya," katanya menjelaskan.
"Apalagi, di kurikulum pendidikan sekarang bahkan sampai pendidikan tinggi itu fokus belajarnya ada di anak. Banyak tugas-tugas, banyak proyek kelompok yang mengharuskan dia kerja sama, kolaborasi. Nah, dia mungkin akan kesulitan sekali dalam bekerja dan mencari pasangan barangkali," lanjutnya.
Mita memberikan tiga tips yang bisa dicoba agar kesehatan mental anak maupun remaja dapat terjaga dengan baik.
Tips yang pertama adalah, orangtua bisa mengupayakan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif.
"Artinya, ketika kita (orangtua) bisa memberikan pengalaman atau experience yang positif kepada anak, anak juga akan terdorong membangun skill-skill hidup yang juga positif," kata Mita menerangkan.
Meski begitu, hal-hal yang positif ini juga perlu disertai dengan kesulitan.
"Anak tetap perlu kesulitan, tapi bukan berarti itu menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Yang dieliminasi justru adalah pengalaman yang tidak menyenangkan itu," katanya dengan tegas.
Baca Juga: Beda Usia Ayah-Anak Ternyata Bisa Mempengaruhi Gangguan Kesehatan Mental Si Kecil, Simak Faktanya
"Karena apa? Ketika anaknya ini melakukan kesalahan, mungkin akan lebih ideal kalau cara mengoreksinya adalah dengan mengajaknya berdiskusi daripada mengkritiknya habis-habisan," ucap Mita.
"Atau, ketika misalnya mau menerapkan sesuatu, akan lebih baik jika membuat kesepakatan bersama dari awal daripada dilarang tiba-tiba," tambahnya.
Menurut psikolog anak ini, melarang anak secara tiba-tiba justru akan membuatnya tidak mengerti dan akhirnya menimbulkan pertentangan antar anak dengan orangtua.
Tips yang kedua ini memang perlu dijalankan oleh setiap orangtua.
"Apapun yang diterapkan, bentuk nilai yang mau diajarkan, value apa, pengasuhan seperti apa, pendisiplinan seperti apa, yang penting konsisten dan enggak berubah-ubah. Enggak beda-beda antar satu sama lain," pesan Mita.
"Itu rasanya bisa bantu untuk membuat anak juga belajar bahwa, 'Oh memang ada boundaries ya, ada aturan ya yang harus diikuti'," lanjutnya mengungkap.
Tips yang terakhir ini juga penting dilakukan, karena terkadang ada hal-hal yang tidak bisa dikontrol oleh orangtua.
"Misalnya, sekolah sudah oke, dipilihkan tempat bermain yang juga oke, tapi enggak tahu juga kalau misalnya tiba-tiba ketemu orang yang bicaranya enggak terlalu baik," ungkap Mita.
"Sebenarnya yang kaya begitu kan kemudian bisa dibahas atau didiskusikan bersama ya antara anak sama orangtua. Jadinya, orangtua kan juga belajar mana yang baik dan mana yang benar," kata Mita berpesan.
Yang terpenting, lanjut Mita, adalah anak tidak terlepas dari pendampingan orangtua.
Itu tadi pentingnya menjaga kesehatan mental anak dan remaja, termasuk dampaknya jika dibiarkan sekaligus beberapa tips menjaganya. Semoga bermanfaat!
Baca Juga: Hari Kesehatan Jiwa Sedunia: Kenali Masalah Kesehatan Mental Pada Anak yang Sering Terjadi
Rayakan Hari Ibu dengan Kenyamanan di Senyaman, Studio Yoga dan Meditasi Khusus Wanita Berdesain Modern serta Estetik
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR