Demikian pula jika anak atau remaja tersebut memiliki gangguan mental, sehingga membutuhkan kolaborasi.
"Maksudnya, ketika sekolah dan guru punya pemahaman yang baik mengenai isu kesehatan mental, lalu juga komunikasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk orangtua terjalin dengan baik, rasanya semua pihak ini bisa saling bekerja sama untuk bisa men-support anak yang punya isu atau masalah gangguan mental ini untuk tumbuh kembang.
Termasuk, ketika dia menjalani pendidikan di sekolah biasa," kata Mita menjelaskan.
Namun, apabila gangguan mental yang dialami anak atau remaja sangat berat dan disadari oleh teman-teman di sekitarnya, psikolog di Lenting Indonesia ini menyarankan sekolah untuk mulai melakukan diskusi dengan teman-teman dekatnya terlebih dahulu.
Tujuannya adalah untuk bisa memberikan frame yang sama dalam memberikan dukungan kepada anak atau remaja dengan gangguan mental tersebut, demikian kata Mita.
Sehingga perlahan, semua teman-temannya bisa kembali kepadanya dan ikut mendukungnya dalam berbagai bentuk.
"Jadi, yang perlu punya literasi kesehatan mental tuh sebenarnya semua pihak. Mau siswanya, siswanya ini punya awareness baik terhadap dirinya sendiri, atau misalnya buat teman-temannya. Terus dari guru dan semua lingkungan sekolah. Terus orangtua," ujar Mita.
"Semua itu bisa bersinergi untuk bekerja sama dan saling support," ungkapnya dengan tegas.
Mita menyampaikan, peran guru dalam menjaga kesehatan mental anak dan remaja di sekolah itu penting.
"Nah, guru ini selain punya peran untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, sebenarnya cukup banyak perannya untuk membangun karakter anak di sekolahnya," ungkapnya.
Baca Juga: Demi Persiapkan Generasi Muda yang Sehat Jiwa, Pemerintah Gelar Sosialisasi Berbasis Posyandu
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Kirana Riyantika |
KOMENTAR