7. Ketidakstabilan Emosional
Ketidakstabilan emosional, seperti gejolak mood yang tiba-tiba atau tingkat kecemasan yang tinggi, juga dapat menjadi ciri-ciri bahwa seorang anak memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.
Kesulitan dalam mengelola emosi dapat menyebabkan perilaku impulsif dan reaksi yang tidak terduga terhadap situasi tertentu.
8. Penggunaan Kekerasan dalam Permainan atau Fantasi
Anak-anak yang secara teratur menggunakan kekerasan dalam permainan atau fantasi mereka mungkin juga memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan kekerasan dalam kehidupan nyata.
Penggunaan kekerasan sebagai bagian dari ekspresi kreatif atau hiburan mereka dapat memperkuat dan memperbesar persepsi bahwa kekerasan adalah sesuatu yang normal atau diterima.
9. Keterlibatan dalam Perilaku Berisiko
Anak-anak yang cenderung terlibat dalam perilaku berisiko, seperti mengonsumsi alkohol atau menggunakan obat-obatan terlarang, juga mungkin memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.
Penyalahgunaan zat dapat mengganggu penilaian dan pengambilan keputusan, meningkatkan kemungkinan terlibat dalam konflik yang berujung pada kekerasan.
10. Kurangnya Pembinaan dan Pengawasan
Kurangnya pembinaan dan pengawasan dari orang tua atau pengasuh dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk terlibat dalam perilaku yang merugikan diri mereka sendiri atau orang lain.
Tanpa arahan yang jelas atau batasan yang ditegakkan, anak mungkin merasa bebas untuk bertindak sesuka hati tanpa memperhitungkan konsekuensinya.
Sebagian artikel ini ditulis dengan menggunakan bantuan kecerdasan buatan
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Diah Puspita Ningrum |
Editor | : | Diah Puspita Ningrum |
KOMENTAR