Setiap orangtua ingin anaknya disenangi teman dan pandai bersosialisasi. Ada satu cara untuk mencapainya, yaitu ajarkan anak empati. Meski begitu, menurut psikolog Dra. Nella Safitri Cholid, Psi. dari Quatra Qualita Development Center, Depok, mengajarkan empati pada anak batita (1-3 tahun) tidaklah mudah. Sebab, di usia ini, anak masih mementingkan diri sendiri karena egonya yang tinggi. Namun begitu, sikap empati harus tetap dikenalkan dengan cara-cara sederhana, seperti berbagi. Kunjungan ke panti asuhan merupakan sarana yang baik untuk itu. Setidaknya, mata anak akan terbuka bahwa masih banyak anak yang tidak seberuntung dirinya.
Hal ini terbukti pada Kendra. Saat bocah itu membagi irisan kue ulang tahun kepada seorang adik kecil, Kendra berbisik pada ibunya, “Ibu, Adek itu kasihan ya…sendirian enggak ada teman.” Donita terharu, tujuannya untuk mengenalkan “dunia anak-anak kurang beruntung” pada Kendra tampaknya berhasil. Empati Kendra mulai muncul.
KUNCI KEBERHASILAN SOSIALISASI
Empati adalah sikap positif dimana seseorang mampu menempatkan diri untuk bisa menyelami perasaan orang lain. Empati juga merupakan respons/tanggapan terhadap keinginan orang lain yang mungkin tidak terucap. Kata Nella, penting menumbuhkan empati semenjak dini karena empati merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam bersosialisasi.
“Kita bisa memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Melalui empati, individu akan mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu permasalahan. Selanjutnya dengan memahami orang lain akan mendorong antarindividu untuk saling berbagi.”
Bila dicermati, empati sebenarnya sudah tumbuh sejak bayi meski masih sangat sederhana. Coba lihat, bayi bisa menangis hanya karena mendengar bayi lain menangis.
Masuk tahun ke-2, batita sudah memahami perasaan senang, sedih, sehingga ia mampu memberikan respons atas penderitaan orang. Contoh, kalau kakaknya dimarahi, si batita bisa membela meskipun tindakan orangtua sebetulnya hanya mengoreksi perilaku salah si kakak. Atau, ketika terjadi rebutan mainan, ada anak yang mampu mengembalikan mainan yang tadinya direbut, hanya karena melihat temannya menangis setelah diambil mainannya.
Memang, diakui Nella, tidak semua anak mampu bersikap seperti itu, karena sikap ini sangat bergantung pada keterampilan sosial si anak. “Anak yang memiliki keterampilan sosial yang baik, umumnya lebih mudah menumbuhkan empatinya,” tambah Nella.
Dengan kata lain, empati tidak tumbuh secara otomatis pada diri anak. Lingkungan mempunyai andil menumbuhkan sikap ini. Anak-anak yang punya empati baik biasanya tumbuh dari lingkungan yang rajin mengasah empati anak lewat beragam stimulasi yang dilakukan ayah-ibu.
GIV Gelar Kompetisi 'The Beauty of GIVing' Guna Dukung Perjalanan Inspiratif Womenpreneur Indonesia
KOMENTAR