Sebuah penelitian menyebutkan, batita yang sering tantrum alias mengamuk dan tidak terselesaikan dengan baik, besar kemungkinan saat dewasa akan tumbuh menjadi pribadi pemarah. Hal ini terjadi karena anak tidak belajar mengeluarkan emosinya secara benar sekaligus mencari jalan keluar atas permasalahannya. Ia hanya tahu kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati atau pikirannya, ia boleh meledakkan emosi. Dengan cara tersebut orang di sekitarnya akan mengerti.
Penelitian tersebut juga menyebutkan, 50-80% tantrum terjadi seminggu sekali. Sayangnya penelitian menarik itu tidak disebutkan dilakukan di mana.
Ah, rasanya sih penelitian itu enggak beda jauh dengan yang kita alami, bukan? Si batita mulai “hobi” mengamuk. Selalu saja ada “pertengkaran hebat” dengan orangtuanya, setidaknya sekali dalam seminggu. Padahal sebelumnya, ia hanyalah sesosok bayi manis. Saat menangis, cukup dihibur sebentar atau dipenuhi kebutuhan dasarnya, minum susu atau mengganti popok yang basah, masalah pun usai. Mengapa sekarang tidak lagi begitu?
Apa yang bisa Anda lakukan? Tentu saja jangan langsung cemas, sebab usia batita memang masa anak mengalami tantrum. Salah satu penyebabnya, anak merasa frustrasi karena tidak bisa mengungkapkan apa yang diinginkannya berhubung kemampuan verbalnya yang masih sangat terbatas. Padahal dari dalam dirinya telah muncul kesadaran akan dirinya (self) dan segala keinginannya.
Misalnya saat ia ingin memakai baju berwarna biru, karena tidak jelas ngomong apa, orangtua mengambilkan yang berwarna merah, anak menolak, lalu diambilkan yang berwarna hijau, kuning, cokelat, begitu seterusnya sehingga meledaklah emosinya karena merasa tidak dipahami. Sementara orangtua/orang dewasa di sekitarnya memang tidak bisa memahami apa yang dikatakan/diinginkannya. “Salah paham” karena masalah pakaian yang tidak cocok ini terjadi sebanyak 10,8% sebagai sumber tantrum anak, sedang yang terbesar adalah masalah makan/makanan, yaitu 16,7%.
Hal lain yang menyebabkan anak frustrasi berujung tantrum adalah pola asuh orangtua yang tidak konsisten. Sebentar boleh, sebentar dilarang, yang seperti ini akhirnya membuat anak bingung dan frustrasi. Rasanya kemarin boleh bermain di atas kasur, kenapa hari ini jadi dimarahi? Begitu juga orangtua yang terlalu otoriter, suka mengkritik, permisif, dan pola asuh kurang tepat lainnya yang memancing rasa frustrasi anak. Perhatikan juga sejak kapan hobi marah-marahnya itu muncul, jangan-jangan sejak kelahiran adik barunya. Sibbling rivalry atau persaingan saudara kandung juga bisa menjadi penyebab tantrum.
Di usia ini anak juga sedang berada pada fase egosentris, ia merasa dunia adalah miliknya. Semua yang dilihat dan diinginkan harus didapatkannya. Padahal dalam kenyataan tidak semua yang diinginkan bisa terpenuhi, akibatnya hal-hal yang tidak bisa terpenuhi itulah yang menyebabkannya tantrum. Jangan lupakan juga hal rutin yang bisa memancing emosi anak, misalnya saat mengantuk, lelah, lapar. Bila itu yang terjadi, sebenarnya tinggal memenuhi kebutuhannya saja dan segera peluk si anak. Namun pada kenyataannya, ketika si batita tantrum, orangtua malah sering terpancing emosinya, lalu memarahi anak. Padahal jelas hal ini jauh dari efektif. Alih-alih mereda, malah si batita bisa bertambah ngamuk.
Belum lagi kalau tantrum ini terjadi di tempat umum atau di depan orang banyak. Orangtua semakin tidak sabar. Mereka inginnya segera mengajak anak pergi dari tempat tersebut supaya tidak bertambah malu. Anak ditarik atau dipaksa-paksa pulang. Padahal semakin dipaksa, tantrum bertambah seru.
Ingat, saat mengamuk anak sebenarnya sedang mengeluarkan emosinya. Jadi, cobalah mengerti dengan mendengarkannya. Kalau ayah/ibu sering menyaksikan acara Nany 911 di salah satu teve swasta, biasanya saat anak tantrum yang dilakukan adalah menaruh anak di pojok hukuman. Memang tidak semua pakar sependapat mengenai hal tersebut, tapi setidaknya membiarkan anak tenang sangat disarankan sebelum mengatasi amukannya. Setelah itu orangtua datang memeluknya sambil menanyakan dengan lemah-lembut apa yang sebenarnya diinginkan si anak.
Kalau terjadi di tempat umum, biarkan anak mengeluarkan emosinya. Katakan, “Mama tahu Adek marah, tapi kalau bicara sambil menangis seperti itu, Mama tidak mengerti. Sekarang diam dulu, baru bicara ya.” Pastikan di sekitar tempat anak mengamuk tidak ada benda-benda berbahaya yang bisa mencelakakannya, seperti sudut runcing yang membuatnya terbentur/terluka saat berguling-guling.
Sikap tenang namun tegas dari orangtua akan menular pada anak. Setelah kemarahannya sedikit mereda, berikan pelukan sayang. Percayalah pelukan ini jauh lebih efektif karena anak akan merasa disayang dan dimengerti. Setelah itu alihkan perhatiannya. Batita sangat mudah teralihkan perhatiannya, tunjukkan saja sesuatu yang baru, berkilau, bercahaya, berbunyi riuh dan sebagainya, itu semua akan memancing rasa penasarannya. Bila memungkinkan gendong anak ke tempat yang lebih tenang. Tempat yang terlalu ramai/hiruk-pikuk akan membuat tensinya tetap tinggi. Begitu juga tempat yang panas/gerah. Kalau di rumah, lap tubuhnya yang basah oleh air mata dan keringat sampai kering, ganti bajunya, tidurkan di tempat tidurnya yang nyaman. Biasanya setelah ngamuk, anak akan tertidur lelap karena kelelahan.
Meski tantrum lazim ditemui di usia batita, orangtua juga harus awas bahwa di usia ini mulai muncul “kepandaian” untuk mendapatkan keinginannya dengan berbagai trik. Contoh, anak ingin makan es krim, sementara orangtua melarangnya karena sedang pilek. Bila ia pernah punya pengalaman tantrum di tempat umum lalu orangtua memenuhi keinginannya, lain kali hal itu akan diulanginya lagi. Kemungkinan besar, si batita akan menangis lagi sejadi-jadinya sampai keinginannya terpenuhi. Bila hal ini sudah menjadi kebiasaan, segera hentikan. Lakukan terus secara konsisten sehingga anak menyadari kalau triknya sudah tak berlaku.
Waspadai juga kalau tantrum-nya terlalu dramatis, misalnya sambil membentur-benturkan kepalanya di lantai/tembok, menangis melolong-lolong tanpa henti sampai sesak napas dan sebagainya. Bila itu yang terjadi, tak ada salahnya membawa anak ke psikolog untuk digali apa yang sebenarnya menjadi penyebab tantrum-nya dan mengapa di luar batas kewajaran. Dengan diketahui penyebab pastinya, penanganannya akan lebih tepat.
Belajar dari Viralnya Anggur Muscat, Ini Cara Cuci Buah yang Benar untuk Hilangkan Residunya
KOMENTAR