Tabloid-Nakita.com - Anak kedua kami, Rayhana, lahir prematur di usia kehamilan 35 minggu. Saat proses persalinan baru diketahui, bayi saya terlilit tali pusar dan plasenta mengalami pengapuran.
Rayhana mendapat APGAR score yang cukup baik, tapi ia harus dirawat di NICU karena plasenta saya mengalami pengapuran. Sayangnya, RS tempat saya melahirkan tidak memiliki NICU, sehingga si kecil harus dipindahkan ke RS lain di Jatinegara yang memiliki NICU dan dokter anak ahli bayi prematur yang andal.
Dari suami, saya tahu, anak kami saat tiba di RS tersebut sudah dalam keadaan berhenti napas, sehingga harus mendapat alat bantu napas. Saya sedih dan takut mendengarnya, apalagi saat itu saya tidak tahu komplikasi apa yang terjadi, dan saya pun harus terpisah rumah sakit dengannya.
Hari ke-4 pascapersalinan, saya baru pulih dan diizinkan melihat si kecil yang dirawat di RS lain. Menurut dokter anak yang menangani, anak kami berhenti napas ketika sampai di RS karena kekurangan suplai oksigen dalam proses transfer. Penyebabnya, oksigen yang disediakan dalam proses transfer tidak sepadan dengan yang dibutuhkan.
Pihak RS segera melakukan tindakan penyelamatan dengan memberikan respirator atau alat bantu napas, sekalipun berisiko pecahnya pembuluh darah otak yang akhirnya menyebabkan hidrosefalus. Satu-satunya cara mengatasi dengan pemasangan VP Shunt (Ventricular Shunt), selang yang dapat mengalirkan cairan otak sehingga tak terjadi penumpukan cairan otak di kepala. Tapi hal itu tak bisa segera dilakukan, mengingat kondisi anak kami masih sangat lemah untuk menjalani operasi.
Akhirnya di hari ke-13 dilakukan pemasangan VP shunt. Operasi berjalan lancar. Alhamdulillah. Beberapa hari setelah itu dilakukan pengecekan cairan otak sebagai salah satu prosedur tambahan. Ternyata, cairan otaknya mengalami infeksi. Kami pun kaget. Bagaimana kuman bisa masuk ke dalam cairan otak yang terkurung oleh tempurung kepala?
Saking syoknya, saya jadi tidak terlalu banyak bertanya dan memercayakan semua prosedur yang akan dilakukan kepada dokter. Dokter bedah saraf memasukkan obat untuk menyembuhkan infeksi tersebut dengan menyuntikkannya ke klep VP shunt. Tapi setelah dilakukan prosedur itu beberapa kali, kondisi anak kami tidak semakin membaik dan infeksi masih tetap ada.
Dua bulan anak kami berada di ICU dengan kondisi hidrosefalus yang tak terpecahkan, akhirnya dokter menganjurkan saya membawa si kecil berobat ke luar negri. Dia merasa dokter-dokter di Indonesia belum berhasil menanganinya, apalagi anak kami mulai mengalami kejang secara berkala dan itu dapat memperburuk kondisinya.
BEROBAT KE SINGAPURA
Singkat cerita, bantuan keluarga besar, kami menemukan dokter yang tepat di National University Hospital (NUH) di Singapura.Setelah semua berkas dan hasil CT scan dikirim ke Singapura, dokter saraf anak di sana, Prof. Low Poh Sim, menganjurkan kami segera datang kesana. Pada 10 Maret 2006, kami berhasil membawa si kecil ke Singapura. Entah mengapa, saat itu saya merasa, inilah jalan Allah swt untuk si kecil. Jadi, saat berangkat hingga tiba di sana, kami begitu yakin akan terjadi kemajuan dan kesembuhan bagi si kecil.
Sesampainya di NUH, kami langsung dibawa ke bangsal perawatan anak. Segalanya sudah disiapkan dengan baik, kamar dan para perawat sudah menunggu. Prof. Low Poh Sim hadir lengkap dengan tim dokter dan seorang dokter bedah saraf yang bernama Prof. Chou Ning. Mereka mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan anak saya, agar dapat menyiapkan waktu yang tepat untuk melakukan operasi pada hari itu juga.
Sungguh, kami sangat terkesan dan kaget melihat cara kerja mereka. Hanya dalam hitungan jam setelah pendaratan, anak saya sudah berada di kamar operasi dan mendapatkan penanganan terbaik. Operasi berlangsung sekitar dua jam dan anak kami langsung masuk ICU. Tampak selang-selang keluar dari kepalanya di bagian kiri dan kanan yang terhubung dengan tabung-tabung, namanya EVD (External Ventricular Drain). Jadi, mereka meneluarkan VP Shunt-nya dan mengganti dengan EVD untuk membersihkan cairan otak yang terinfeksi.
KOMENTAR