Beberapa hari setelah operasi, Prof. Low Poh Sim dan Prof. Chou Ning memberitahukan hasil kultur cairan otak (CSF) yang mereka lakukan. Menurut mereka, cairan otak anak saya terkontaminasi oleh bakteri Burkholderia Cepacia. Bakteri ini amat sangat tidak mungkin bisa masuk kedalam cairan otak Rayhana kecuali pada saat tindakan operasi atau proses penyuntikan obat ke kepalanya itu dilakukan, karena bakteri tersebut biasanya hidup di dalam tanah.
Bukan hanya saya dan suami serta mertua yang kaget bukan kepalang, tetapi juga kedua profesor itu. Prof. Chou Ning mengatakan, pengobatan melalui penyuntikan ke kepala yang pernah dialami anak saya di Indoensia itu salah, seharusnya tidak dilakukan. Sebenarnya, infeksi saat operasi/tindakan mungkin saja terjadi, tetapi jenis bakteri yang masuk itulah yang membuat semuanya kaget, karena bakteri tersebut tidak seharusnya ada di suatu lingkungan steril, apalagi rumah sakit.
Walaupun demikian, kami saat itu mengambil sikap, hal tersebut fakta menakutkan yang harus kami terima, tapi kami tak mau berpikir ke belakang, melainkan langsung fokus ke depan dan bekerja sama dengan para tim dokter di NUH untuk memberikan perawatan terbaik bagi anak kami.
ALAMI HAMBATAN PERTUMBUHAN
Karena suami dan mertua harus kembali ke Jakarta, maka selama si Singapura hanya saya bersama si kecil. Singkat cerita, dari Maret 2006 sampai Juni 2007, Rayhana mengalami 13 kali operasi. baik yang berhubungan dengan EVD, VP Shunt, ataupun pemasangan kateter untuk memasukkan obat ke dalam badannya yang diakibatkan oleh pembuluh darah yang sudah tidak memadai untuk dipasangkan infus.
Setelah Rayhana pulang ke Jakarta, saya dan suami, juga keluarga menjadi amat sangat hati-hati dengan kondisinya. Gyanti sebagai kakak juga sangat membantu dalam mengurus Rayhana. Dengan kondisi kerusakan otak yang diakibatkan oleh infeksi bakteri yang pertama, Rayhana mengalami hambatan dalam pertumbuhan sensorik dan motorik. Prof. Low Poh Sim sudah menjelaskan, akan sulit untuk Rayhana hidup secara normal. Berdasarkan fakta medis, dia tidak akan tumbuh dan berkembang seperti anak-anak seusianya, sekalipun tubuhnya akan tumbuh besar secara normal.
Sekarang kami sudah ikhlas dengan kondisi tersebut. Dengan selamatnya Rayhana saja sudah merupakan mukjizat bagi kami sekeluarga. Tiga belas kali operasi untuk anak usia 1 tahun itu luar biasa sekali. Allah swt memberikan sebegitu besar kekuatan kepada anak saya dengan segala komplikasi yang ada untuk tetap bertahan hidup. Dia sudah bisa mengalami ini semua, masa kami tidak bisa? Walaupun sulit, kami berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi Rayhana.
Demi kebaikan perkembangannya, kami mendatangkan terapis ke rumah untuk membantu dia belajar berjalan, berdiri, dan melemaskan otot-otonya. Terapi akupunktur dan pijat refleksi juga dijalani. Hasilnya, perkembangan Rayhana semakin baik, meski mungkin tidak banyak berarti bagi awam. Buat kami, Rayhana bisa merayap 20 cm lebih jauh sudah luar biasa. Bisa memilih di antara dua barang yang dia sukai ataupun bisa membuka dan menutup lemari, bisa memeluk kami ketika diminta, kiss bye ketika kami pamit sama dia, ataupun tertawa kegirangan ketika berhasil menendang kursi yang ada di dekatnya, itu sudah merupakan keajaiban bagi kami.
Dokter anak di Jakarta yang menyarankan kami membawa Rayhana ke Singapura pun takjub dengan perkembangannya. Menurut beliau, kasus anak seperti Rayhana di Indonesia, survival rate-nya hampir tidak ada. Menurut beliau, ini seperti suatu pembelajaran baru dimana bisa melihat hasil gabungan dari teknologi dan ilmu pengetahuan serta dedikasi tinggi yang dilakukan oleh dokter-dokter di Singapura.
Dari pengalaman Rayhana, kami sekeluarga mendapat satu hikmah penting, yang sepertinya bermanfaat untuk semua orangtua, yaitu: kita harus kritis dan mau belajar akan kondisi yang dialami. Setiap treatment/tindakan yang dilakukan, kita harus tahu sebab dan akibatnya. Banyak bertanya kepada dokter dan suster serta mengamati dalam prosesnya, karena pada dasarnya dokter hanyalah seorang manusia dan bisa luput dari kesalahan. (Seperti diceritakan Ardi Wibowo kepada Gazali Solahuddin)
KOMENTAR