Untuk membuat si prasekolah memiliki sikap asertif, orangtua perlu memberinya kesempatan serta mengarahkannya. Orangtua dapat melakukannya dari hal-hal sederhana dalam kegiatan sehari-hari seperti:
1. Mengarahkan sikap asertif.
Orangtua dan anak harus membiasakan berkomunikasi dalam segala hal. Saat berkomunikasi ini sebetulnya anak diajarkan dan diarahkan bagaimana ia dapat menyatakan pendapatnya dengan baik, menyatakan ketidaksetujuannya dengan tidak menyinggung perasaan orang lain dan bisa diterima oleh lingkungannya.
Anak prasekolah kadang kala sikapnya cenderung spontan dalam mengatakan sesuatu. Bisa saja hal ini menandakan sikapnya yang asertif namun cara penyampaiannya saja yang kurang tepat. Sehingga ia tidak terpikir jauh akibatnya bagi orang lain, apakah akan tersinggung atau tidak yang mendengarnya. Juga tidak terpikir apakah sebetulnya baik atau tidak untuk dirinya sendiri.
Contoh, dalam sebuah percakapan, anak berkata pada ibunya, “Mama, jangan pakai baju itu, jelek dan aku tak suka warnanya.” Padahal anak tahu itu baju kesukaan ibunya. Orangtua bisa menanggapinya dengan bertanya alasannya pada anak,” Memangnya kenapa Adek enggak suka?” Mungkin anak akan memberikan beragam jawaban dan percakapan pun dapat terus berlangsung.
Dari percakapan antara orangtua dan anak ini sebetulnya orangtua dapat memancing dan mengajak anak untuk berpendapat, mengungkapkan perasaan maupun pemikirannya, sehingga anak tidak diam saja. Bisa juga diberitahukan pada anak bahwa tak apa-apa bila ia merasa tidak setuju atau ada pendapat yang berbeda dengan orangtuanya.
2. Minta pendapat anak dalam setiap kesempatan.
Ketika orangtua ingin membelikan sesuatu untuk anak, misalnya beli baju, sebaiknya jangan main beli dengan berpikir si anak pasti mau kalau dibelikan/dipilihkan. Cara ini tidak melatih sikap asertifnya. Belum tentu juga anak bersedia menggunakan apa yang sudah dibelikan, karena mungkin tidak suka. Ingat, lo, si prasekolah sudah memiliki referensi sendiri seperti dalam hal warna, model, dan sebagainya. Jadi, sebaiknya coba tanyakan dulu pada si anak bagaimana pendapatnya. “Dek, kamu mau dibelikan baju warna apa?” Anak diberi tawaran dan dimintai pendapatnya. Jadi, dalam memutuskan sesuatu, anak ikut dilibatkan.
Anak dimintai pendapatnya juga bisa lewat dongeng atau membacakan cerita bergambar. Orangtua tidak sekadar mendongeng atau membacakan cerita saja, tapi juga meminta pendapat anak dari cerita tersebut. Misalnya, ada gambar anak berebut kue atau tak mau antre bergiliran, atau gambaran lingkup situasional lain yang ditemui dalam sehari-hari. Anak bisa ditanya pendapatnya, “Kalau kamu lihat seperti itu, bagaimana menurut pendapatmu?”
Mungkin di usia ini ada anak yang masih belum banyak perbendaharaan katanya untuk dia bisa menjelaskan sesuatu, mungkin orangtua yang lebih aktif bertanya untuk mendengar bagaimana komentar anaknya tersebut. Apa pun komentar dan pendapat anak itu keluar dari dirinya dan orangtua tetap perlu menghargai usahanya.
3. Beri penguatan.
Adakalanya pada anak-anak tertentu sulit untuk mengemukakan pendapat atau jarang bercerita. Ketika orangtua mengajaknya atau berusaha untuk membuat anaknya mau bercerita, mau berpendapat dan anak mau melakukannya, orangtua bisa memberinya reinforcement. Umpama, selama ini anak diam saja tidak protes dimasakkan sayur. Kalaupun ditanya maunya dimasakkan apa dan si anak mengatakan terserah ibunya. Hingga bila suatu saat ia menyatakan sendiri ketidaksukaannya, maka orangtua perlu memberikan reinforcement atas sikapnya tersebut. Contoh, “Wah, Mama senang lo, Adek ternyata mau bilang kalau tidak suka sayurnya. Nah, begitu, dong. Jadi, Mama kan, tahu. Lain kali Mama bisa buatkan sayur kesukaan Adek.”
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
KOMENTAR