TabloidNakita.com - Mengajarkan konsistensi sarat dengan manfaat, salah satunya anak bisa memegang teguh prinsip tanpa terombang-ambing lingkungan sekitarnya. Nah, untuk mengajarkan konsistensi, orangtua terlebih dulu harus tahu, apa yang ingin diterapkan pada anaknya. Ketika ingin menerapkan disiplin/kebiasaan belajar. misalnya. Orangtua perlu mengetahui mengapa ia memilih waktu belajar anak pada pukul 16.00-17.00, misal. Mungkin disesuaikan dengan aktivitas anak sehabis bermain dan main, misalnya. Sementara kalau di atas jam tersebut anak sudah mengantuk. Setelah it,u sudah direncanakan pula apa yang harus dilakukan anak dan harus tuntas dalam waktu 15 menit di jam tersebut. Jika kebiasaan ini diterapkan secara konsisten, manfaatnya akan tampak dalam beberapa tahun ke depan, misalnya ketika anak duduk di sekolah dasar. Di usia ini anak sudah punya kebiasaan belajar di jam-jam tersebut.
Pengajaran konsistensi perlu kesabaran orangtua dan juga perjuangan yang tak mudah. Misalnya, anak menolak belajar karena ingin main dengan temannya. Kalau saja orangtua meloloskan permintaan anak karena tak tahan dengan rengekannya atau bersikap permisif dengan keinginan anak, maka apa yang diterapkan menjadi tidak konsisten. Tindakan yang dilakukan ibu pun hanya penyelesaian sesaat, yaitu anak berhenti merengeknya, namun aturan menjadi tidak diterapkan. Jika disikapi dengan cara demikian, ada kecenderungan perilaku anak akan berulang kembali. Pemahaman yang melekat pada diri anak, yaitu bahwa dia boleh mendapatkan sesuatu dengan caranya merengek. Jika dilain kali dia tidak mendapatkannya, dia akan belajar meminta dengan cara yang sama atau lebih heboh lagi.
Hal yang sebaiknya dilakukan orangtua yaitu tetap mengajak dan membujuk anak melakukan aktivitasnya di jam yang telah ditentukan. “Kerjakan menempel ini dulu Dek, sebentar saja. Kalau sudah selesai nanti baru main.” Orangtua juga harus siap bila anak melakukan negosiasi dan mempunyai alasan. Dalam menyikapinya, tergantung pilihan orangtua apakah mau konsisten ataukah tidak. Misal, ketika anak merengek tetap mau main, orangtua harus jelaskan konsekuensi logisnya, “Kamu selesaikan dulu pekerjaan menempel ini. Kalau sudah selesai kamu bisa cepat main dengan temanmu.”
Kalau anak tetap merengek, orangtua tetap harus menyadari, di jam tersebut anak tetap harus belajar. Berikan alasan logisnya. . Bisa saja yang terjadi kemudian anak mau melakukannya dengan malas-malasan atau asal-asalan. Itu tak masalah asalkan anak melakukan sesuatu hingga selesai atau tuntas. Setelah selesai anak mengerjakannya, jangan lupa beri apresiasi. “Tuh kan kamu bisa cepat. Kalau selesai sekarang kamu boleh bermain.”
Adakalanya orangtua juga harus mempunyai toleransi anak tidak melakukan kegiatannya. Terutama pada kondisi-kondisi tertentu seperti saat anak sakit misalnya.
Sering ditemui, ketika orangtua menghadapi situasi seperti contoh di atas, orangtua merespons rengekan si anak atau menimpalinya dengan kata-kata. Akhirnya yang terjadi adalah emosi orangtua terpancing. Dalam kondisi ini, orangtua jangan terburu-buru ingin menyelesaikan rengekan si anak. Berilah waktu dan ruang bagi anak menumpahkan emosinya. Tunggui anak ketika merengek-rengek, jangan beri komentar macam-macam. Kalaupun orangtua ingin memeluknya, silakan. tetapi jangan beri komentar apa pun.
Bila orangtua merasa emosinya tidak cukup tahan melihat perilaku anak yang berteriak-teriak atau bergulingan di lantai, orangtua perlu meninggalkan anak dari ruang tersebut. Katakan pada anak,”Mama tinggal sebentar ya ke sana, nanti kembali lagi.” Jika emosi anak mereda, ajak anak bicara baik-baik mengenai aturan yang tengah diterapkannya.
Dedeh Kurniasih
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
KOMENTAR