“Ma, aku tuh dari mana?” tanya Kelvin (5) pada Astri (32), sang mama, yang sedikit terkejut mendengarnya. Sejenak ia menghela napas sambil membatin, “Mungkin inilah saatnya.” Ia sudah banyak mendengar dari teman-temannya kalau suatu saat anak pasti akan bertanya masalah seksualitas dan pertanyaan itu biasanya diawali dengan, “Aku dari mana?” Ia mencoba mengumpulkan ingatan akan jawaban yang sudah dihafalnya.
“Ayo duduk sini dulu, kita ngobrol,” ajak Asti kepada buah hatinya, lalu sekali lagi ia menarik napas, “Kamu tahu kan lebah?” tanyanya kemudian. Si kecil mengangguk. “Jadi lebah itu... bla... bla... bla,” meluncurlah dengan lancar teori penyerbukan yang sudah dihafalnya. Ia yakin kiasan yang disampaikan dalam ceritanya itu bisa menjawab pertanyaan yang diajukan putranya yang sebentar lagi masuk SD itu. “Jadi mengerti, kan?” tutupnya. Kelvin hanya melongo selama sang mama bercerita panjang lebar, lalu spontan ia menjawab, “Kalau Andi dari Jawa, David dari Batak, kalau aku dari lebah ya?”
Sekilas cerita itu terdengar lucu, namun sebenarnya ada pesan mendalam yang ingin disampaikan, bagaimana orangtua sering “salah sambung” dengan anak. Anak bertanya apa, orangtua menjawab apa. Sering kali orangtua merasa paling tahu isi kepala anak, sehingga tanpa konfirmasi lagi langsung memberikan informasi/jawaban, yang ternyata salah. Nah, supaya hal tersebut tidak terjadi, berikut tip-tipnya:
Sebelum Menjawab Pertanyaan Anak
* Orangtua wajib belajar dan berlatih.
Memang, tak ada sekolah yang mengeluarkan ijazah sebagai tanda bahwa Anda sudah “lulus” sebagai orangtua, tapi banyak sekali media/sarana yang bisa digunakan untuk belajar menjadi orangtua. Orangtua harus selalu meng-up date diri supaya bisa menjawab pertanyaan anak sesulit apa pun. Informasi itu bisa didapat dari majalah/tabloid, teve, radio, seminar, parenting class, mengikuti milis tertentu, bahkan ikut bermain dan bergaul bersama anak (terutama bila anak sudah masuk usia praremaja/remaja).
* Libatkan tokoh-tokoh penting dalam kehidupan anak.
Untuk menjawab pertanyaan anak, tak ada salahnya melibatkan banyak tokoh penting seperti ayah, ibu, kakak, paman, guru, dan sebagainya. Akan lebih menyenangkan sebenarnya mendiskusikan bersama pertanyaan anak, sehingga muncul jawaban yang benar-benar tepat untuknya.
* Jangan mengebiri pikiran kritis anak.
Jangan menolak menjawab pernyaan anak dengan mengatakan, “Aduh, Mama heran deh, kamu dari tadi nanyaaa melulu, kayak tamu aja!” Jawaban seperti ini hanya akan mengebiri pikiran kritis yang seharusnya memang dibangun sejak kanak-kanak. Bila terus-menerus mendapat penolakan, akhirnya anak akan bersikap pasif, “Ngapain juga nanya-nanya, toh nanti malah dimarahi.” Pertanyaan anak, secerewet apa pun, adalah wajar dan jadikan sebagai ajang/kesempatan untuk mendidik anak.
* Identifikasi dan katakan apa yang Anda rasakan (kaget, malu dan sebagainya).
Tak ada salahnya orangtua menyampaikan apa yang dirasakan saat mendengar pertanyaan anak, “Aduh, Mama kaget sekali mendengar pertanyaan kamu.” Ini lebih baik daripada Anda salah tingkah lalu memberikan reaksi yang juga salah karena pertanyaan anak, semisal, “Aduh, anak kecil kok nanya seperti itu. Tidak boleh ya.”
KOMENTAR