Respons atau reaksi ketakutan akan bencana seperti yang dilihat anak di televisi bisa bermacam-macam. Ada anak yang terus-menerus bertanya mengenai kejadian tersebut. Ada yang kemudian takut melihat derasnya hujan karena takut banjir lalu menangis, berteriak-teriak, mendekap orangtua dengan erat, atau wajahnya memucat. Bisa juga tampak dari perilaku takut bila keluar rumah. Paling sering, anak takut berpisah dari orangtuanya.
Ketakutan anak tersebut masih bisa dianggap wajar bila tidak mengganggu aktivitas keseharian dirinya. Misalnya, anak juga jadi takut mandi saat melihat air, atau takut bermain keluar rumah karena khawatir kehilangan orangtua akibat gempa atau gunung meletus. Reaksi seperti ini tentu sudah berlebihan.
Jika tak ditangani, anak bisa stres dan mungkin saja mengalami fobia hingga usia dewasanya nanti. Karenanya, orangtua harus segera membantu anak mengatasi rasa takutnya agar tidak menetap. Berlanjut tidaknya ketakutan anak sangat bergantung pada bagaimana orang dewasa di sekitarnya merespons ketakutan anak. Biasanya dengan sering diajak berpikir rasional, cekaman ketakutannya bisa perlahan berkurang. Bila anak sekadar bertanya-tanya mengenai kejadian tersebut sebetulnya anak tengah mengumpulkan informasi mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. Orangtua wajib memberikan informasi secara alamiah dengan bahasa sederhana mengenai apa yang ingin diketahui anak. Biasanya hal ini bisa mengurangi rasa kecemasan anak. Berkurang tidaknya kecemasan anak dapat terlihat dari perilakunya.
Namun, bila anak selalu bertanya hal yang sama dan berulang meski sudah diinformasikan hal yang ingin diketahuinya, maka diperlukan penanganan yang lebih serius. Kemungkinan anak belum merasa aman. Yang perlu dilakukan orangtua antara lain:
Rekap Perjalanan Bisnis 2024 TikTok, Tokopedia dan ShopTokopedia: Sukses Ciptakan Peluang dan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital
KOMENTAR