Nakita.id - Dewasa ini, berfoto selfie menjadi kegemaran berbagai kalangan utamanya generasi milenial.
Bahkan, demi kepuasan tak sedikit orang yang berani mengambil risiko berfoto selfie di tempat ekstrem atas nama tren.
Seperti belum lama ini, insiden menimpa seorang remaja berinisial GES (16) yang tewas setelah terpeleset dari tebing di Pantai Balangan saat dirinya akan melakukan selfie, Jumat (29/6).
Menurut Kabid Humas Polda Bali Kombes Hengky Widjaja, GES jatuh dari ketinggian 30 meter saat dirinya berdiri di pinggir tebing.
Tubuh korban terhempas ke bibir pantai di mana air laut kala itu sedang surut.
Tentu saja, ini bukan kali pertama tren media sosial ini berakhir dengan hilangnya nyawa.
BACA JUGA: Jangan Abai, Jaga Kualitas Pendengaran Moms Tetap Baik dengan 5 Cara Ini
Banyak sekali kasus upaya selfie di seluruh dunia yang berujung insiden tragis.
Belakangan menurut para ahli, selfie menjadi 'petunjuk' bahwa seseorang mengalami gangguan mental.
Pada 2014, American Psychiatric Association menetapkan istilah “selfitis” untuk mengacu pada kelainan mental berupa kegemaran mengambil dan posting selfie secara berlebihan yang ternyata tidak benar.
Namun, hal ini membuat sekelompok peneliti dari Notthingham Trent University dan Thiagarajar School of Management di India penasaran untuk membuktikannya.
Sebuah studi pun dilakukan, dengan melibatkan 225 responden dari kedua kampus.
Hasilnya, tim peneliti mengklaim bahwa kelainan mental “selfitis” memang nyata bahkan ada kategorinya.
“Kami nampaknya bisa mengonfirmasikan keberadaan (selfitis) dan telah membuat ‘Skala Perilaku Selfitis’ pertama di dunia untuk mengevaluasi kondisi subyek," ungkap Dr. Mark Griffiths dari Departement Psikologi Nottingham Trent University.
BACA JUGA: Mengenal Kakebo, Solusi Cerdas Menabung ala Jepang Untuk Stay At Home Moms
Studi yang kemudian dipublikasikan dalam International Journal of Mental Health and Addiction tersebut membagi “Selfitis” ke dalam tiga tingkatan, bergantung intensitas seseorang mengambil foto selfie.
Pertama adalah “borderline Selfitis”, dimana seseorang mengambil selfie setidaknya sebanyak tiga kali sehari, namun tidak mengunggahnya ke media sosial.
Kedua, “Selfitis akut” yakni upaya selfie setidaknya sebanyak tiga kali, kemudian golongan ini mengunggahnya ke media sosial.
Tahapan ketiga yang paling parah yaitu “Selfitis kronis” dimana seseorang memiliki dorongan untuk terus menerus selfie sepanjang waktu, lebih dari enam kali setiap hari.
Tim peneliti kemudian menyusun 20 pernyataan yang harus dijawab dengan “setuju” atau “tidak setuju” untuk mengukur tingkat keparahan “selfitis” responden.
Contohnya seperti “Saya merasa lebih populer ketika posting selfie di media sosial” atau “Saat tidak mengambil selfie, saya merasa terasing dari grup”.
Dari situ, ditarik kesimpulan bahwa dari 225 responden, 34% memiliki “borderline Selfitis”, 40,5% menderita “selfitis akut” dan 25.5% terjangkit “selfitis kronis”.
BACA JUGA: Lakukan Pemotretan Keluarga, Baju Putri Annisa Pohan Jadi Sorotan, Ada Apa?
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin pria ternyata cenderung lebih rawan menunjukkan selfitis (57,5%) daripada perempuan (42,5%).
“Kami harap akan ada riset lanjutan untuk menggali lebih jauh tentang bagaimana dan kenapa orang-orang mengidap perilaku obsesif ini, dan apa yang bisa dilakukan untuk menolong orang-orang yang menderita paling parah," jelas Dr. Janarthanan Balakrishnan dari departemen psikologi Nottongham Trent University.
Bukan berarti selfie tidak diperbolehkan, namun hendaknya dilakukan dengan bijaksana dan berhati-hati agar tidak membahayakan diri sendiri.
ShopTokopedia dan Tasya Farasya Luncurkan Kampanye ‘Semua Jadi Syantik’, Rayakan Kecantikan yang Inklusif
Source | : | intisari,Telegraph.co.uk |
Penulis | : | Erinintyani Shabrina Ramadhini |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR