Inti dari pengendalian diri adalah kontrol emosi. Karena bukan sesuatu yang otomatis akan dimiliki anak, kontrol diri haruslah dilatih. Untuk itu dibutuhkan suatu proses panjang. Diawali dengan bagaimana anak bisa mengenali, menamai, dan mengatur emosinya, lantas mengekspresikan emosi tersebut secara tepat. Anak yang terlatih melakukan kontrol diri sejak dini akan memiliki rasa empati, ketahanan diri, serta keterampilan sosial yang juga baik. Kecerdasan emosi itu berguna bagi anak dalam menjalin relasi sosial dan berinteraksi dengan orang lain.
Sebaliknya, tanpa pengendalian diri yang baik, ketahanan diri anak akan rendah. Ia mudah terpukul, mungkin bersikap berlebihan bila menghadapi benturan, dan cenderung menghindari konflik atau lari dari masalah. Mental yang rapuh selanjutnya bisa berpengaruh pada fisik anak. Secara kognitif pun, anak jadi sulit berpikir jernih dan enggan menyelesaikan masalah secara rasional.
Apa yang harus diperhatikan saat melatih kontrol diri anak? Yang paling utama, tentu kita sebagai orangtua harus menjadi model yang baik baginya. Bila kita menyadari bahwa pengendalian diri kita masih kurang baik, benahi diri terlebih dulu. Ingat, dalam suatu interaksi (dalam hal ini antara orangtua dan anak) akan selalu ada reaksi. Nah, reaksi-reaksi dari orangtualah yang akan dipelajari oleh anak dan dijadikan acuan saat ia mengontrol, mengelola, dan mengekespresikan emosinya. Jika kontrol diri orangtua tidak terkendali atau mudah meledak-ledak, anak cenderung belajar dan meniru hal serupa. Untuk itu sekali lagi tata kembali kecerdasan emosi kita. Tak ada kata terlambat.
Konsisten adalah prinsip lain dalam melatih kontrol diri sang buah hati. Jika aturan atau kesepakatan sudah ditetapkan, tangis anak yang meraung-raung tak perlu menggoyahkan hati. Saat itu anak tengah menguji konsistensi orantua. Bila kita luluh (karena kasihan atau malu dilihat orang lain, atau alasan lainnya) anak justru belajar bahwa menangis meraung-raung adalah cara yang efektif untuk mendapatkan keinginannya. Pengabulan itu pun tidak memberikan pelajaran baginya untuk bersikap sabar. Ia justru menangkap bahwa apa pun keinginannya harus dipenuhi saat itu juga.
Sikap konsisten orangtua boleh jadi membuat anak kesal, tetapi tak seharusnya ia menjadi sakit hati karenanya. Agar tidak demikian, dalam menegakkan kesepakatan dan aturan, anak pun perlu mendapat penjelasan mengapa orangtua tak mengabulkan keinginannya. Tentu penjelasan tersebut harus bernada positif, bukan malah menjatuhkan mental anak. Sebuah penelitian menyimpulkan, bagaimana orangtua bereaksi terhadap anak (baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan secara fisik maupun psikis) akan meninggalkan bekas (memori) biologis pada struktur otak anak. Terutama di usia 2 tahun pertama. Memori ini akan terbawa oleh anak hingga seumur hidupnya. Karena itulah, para ahli mengimbau orangtua untuk selalu bersikap positif kepada para buah hatinya, termasuk dalam pengajaran pengendalian diri ini. Di usia remaja dan selanjutnya, kontrol diri akan terus berkembang dan pada akhirnya menjadi bekal anak dalam mengatasi tantangan-tantangan rumit dalam kehidupannya.
KOMENTAR