Nakita.id - Tragedi bunuh diri satu keluarga di Palembang menyisakan banyak pertanyaan.
Salah satunya adalah penyebab kenapa kejadian mengerikan seperti itu bisa terjadi.
Bukan hanya istri, pelaku pembunuhan dan bunuh diri dalam peristiwa nahas ini, Fransiskus Xaverius (FX) Ong juga menghabisi nyawa kedua anaknya sebelum ia mengakhiri hidupnya.
Baca Juga : Tragedi Kematian Keluarga FX Ong di Palembang, Ini Alasan Seseorang Tega Bunuh Keluarganya!
Kasus bunuh diri satu keluarga tersebut diduga kuat karena dipicu orang ketiga dalam rumah tangga Ong (45) dan Margaretha (45).
Hal ini disampaikan oleh pembantu rumah tangga keluarga FX Ong, Sarah Perdinanti ketika menjalani pemeriksaan di Polresta Palembang.
Ia mengakui bahwa majikannya tersebut kerap terlibat percekcokan dan hubungan mereka berubah tidak harmonis selama beberapa waktu terakhir.
Baca Juga : Benarkah Laudya Cynthia Bella Jual Rumah Pemberian Afif Kalla? Begini Katanya!
Padahal, FX Ong dan sang istri dikenal sebagai pribadi yang ramah dan supel.
Dilansir dari Newsweek.com, kasus bunuh diri satu keluarga ini bukan kejadian yang pertama.
Pasalnya, sudah banyak kejadian-kejadian serupa dan motifnya selalu sama dan sejenis.
Baca Juga : Devano Danedra Tolak Tawaran Main Film Karena Iis Dahlia, Kenapa?
Seorang profesor dari Nothreneastern University di bidang sosial dan kriminologi, Jack Levin memberikan pendapatnya tentang kejadian kepala keluarga yang membunuh istri dan anak-anaknya.
Ia menyebut orang tersebut 'family annihilator' atau pemusnah keluarga yang biasanya diperankan oleh sang ayah.
Saat ditanya apakah pelaku pembunuhan dan bunuh diri ini bisa disebut memiliki gangguan jiwa, Levin justru menyayangkan hal tersebut.
Baca Juga : Orangtua Wajib Tahu, Anak dengan Kondisi Ini Berisiko Mengidap Atrofi Otak!
Fenomena seperti ini tidak bisa ditinjau melalui segi psikologi dan pelaku bunuh diri tidak dapat disebut mengalami gangguan kejiwaan.
"Setelah semua rasa frustrasinya meluap dan menjadi penyebab pembunuhan anggota keluarga dan membunuh dirinya sendiri, mereka tidak bisa disebut gila," tuturnya.
Levin menjelaskan bahwa kesedihan dan frustrasi mendalam membuat mereka menjadi gelap mata dan tidak berpikir panjang dan hal itu merupakan tahap kronis dari depresi.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaku biasanya sudah merencanakan perbuatan keji itu berbulan-bulan sebelum kejadian.
Pada tahun 1999, seorang laki-laki bernama Mark Barton mengakhiri hidup istri dan dua anaknya kemudian membunuh dirinya sendiri.
Baca Juga : Kenali Penyebab Jerawat Postpartum, Salah Satunya Bisa Karena Sembelit
Ia meninggalkan pesan terakhir yang mengatakan, "Mereka lebih baik mati" dan hal tersebut merupakan bentuk dirinya tak bisa melawan depresi.
Levin pun menjelaskan jika ada sejumlah faktor yang membuat seorang laki-laki membunuh keluarganya, yakni masalah rumah tangga, finansial, perceraian, dendam dan perebutan hak asuh anak. (*)
Source | : | nakita.id,newsweek.com |
Penulis | : | Diah Puspita Ningrum |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR