Bijakkah Membiarkan Anak Memilih Makanannya Sendiri?

By Dini Felicitas, Kamis, 26 Januari 2017 | 07:00 WIB
Bijakkah membiarkan anak memilih makanannya sendiri? (Dini Felicitas)

Nakita.id - Masalah anak susah makan, atau pilih-pilih makanan, memang menjadi problem bagi banyak orangtua. Semua orangtua pasti ingin anaknya mau makan sayur; sayangnya, kebanyakan anak menolak makan sayur. Begitu melihat nasinya tercampur sesuatu yang berwarna hijau saja, si kecil sudah menjerit. Jika dipaksa makan, anak makin keras menolak. Mama pun jadi kesal karena makanan anak bahkan tidak habis separuhnya.

Biasanya, Mama pasti langsung curhat dengan ibu-ibu lain, bagaimana caranya supaya anak mau makan sayur atau makanan yang dianggap sehat lainnya. Dari curhatan tersebut mungkin Mama sempat mendengar, lebih baik membiarkan anak memilih makanannya sendiri daripada memaksa mereka makan makanan yang Mama berikan. Apakah saran tersebut dapat diterapkan?

Anjuran untuk membiarkan anak menentukan makanannya sendiri bermula dari hasil penelitian Clara M. Davis, dokter spesialis anak dari Chicago. Pada Juni 1939, Davis memaparkan hasil risetnya tersebut dalam pertemuan tahunan Canadian Medical Association ke-70 di Montreal, Canada. Temuan ini dianggap sebagai eksperimen paling ambisius, dan kelak dimuat di Canadian Medical Association Journal tahun 2006 yang terus menjadi bahan diskusi hingga sekarang.

Kesimpulannya didapat setelah mengadakan eksperimen di sebuah panti asuhan di Chicago. Ada 15 anak yang berpartisipasi, di antaranya dua anak laki-laki yang terus diobservasi kebiasaan makannya selama 4,5 tahun. Apa pun yang dikonsumsi kedua anak ini direkam selama kurun waktu tersebut, tanpa campur tangan sama sekali dari orang dewasa. Davis mencatat semua perubahan yang terjadi: tinggi dan berat badan anak, kebiasaan buang air besar, radiografi tulang dan hasil pemeriksaan darah.

Eksperimen ini dirancang untuk membiarkan anak memutuskan pilihannya sendiri, karena menurut Davis secara insting tubuh anak tahu makanan apa yang terbaik bagi dirinya. Pandangan ini kemudian disebut sebagai "kearifan tubuh", di mana ia menyamakan nafsu makan anak secara naluriah serupa dengan cara berbagai sistem otonomi tubuh menyesuaikan diri untuk mengkompensasi tantangan dari luar. Misalnya, berkeringat saat udara panas, atau bernapas lebih cepat ketika mulai berlari.

Tetapi, Davis memeringatkan bahwa eksperimennya ini menggunakan trik tertentu. Pada anak-anak, ia menawarkan 34 variasi makanan yang seluruhnya dianggap sehat, termasuk air putih, kentang, daging sapi, wortel, ayam, gandum, pisang, dan susu. Kemudian, anak dibiarkan memilih sebanyak apa pun, atau sesedikit apa pun, makanan yang mereka inginkan. Hasilnya ternyata mencengangkan. Anak-anak ternyata memilih makanan yang paling bergizi. Mereka memilih protein selama masa pertumbuhan, dan memilih karbohidrat dan lemak saat aktivitas fisik mereka mencapai puncaknya.

"Hasil dari eksperimen ini adalah: biarkan pilihan makanan tersedia untuk anak di tangan orangtua mereka, di mana semua orang tahu mengenai hal itu," tukasnya. Bagaimana pun, anak tahu kapan ia lapar, dan kapan ia kenyang. Ada kalanya anak akan memilih makanan yang tidak sehat, tapi pada akhirnya jenis makanan yang dikonsumsi akan seimbang.

Tentu, pandangan Davis banyak ditentang oleh berbagai kalangan. Baik para orangtua maupun para pengamat kesehatan. Pertama-tama, responden yang mengikuti eksperimen tersebut sangat sedikit. Selain itu, hasil risetnya tidak disertai grafik atau bagan apa pun yang menjelaskan data yang diperoleh secara detail.

Lebih-lebih lagi, pada saat eksperimen tersebut dilakukan, variasi makanan belum sebanyak saat ini. Pada saat itu tidak banyak makanan kemasan, olahan, junk food, dan lain sebagainya yang begitu gencar diiklankan sehingga memengaruhi pilihan anak. Yang terjadi kemudian adalah kasus-kasus obesitas pada anak akibat konsumsi makanan "sampah" dan kurangnya aktivitas fisik.

"Saya tidak yakin membiarkan anak memutuskan makanannya sendiri itu ide yang bagus. Disiplin itu sepertinya sudah menghilang dalam beberapa tahun terakhir. Gabungkan hal ini dengan kenyataan bahwa industri makanan sudah begitu meningkat, sehingga mendorong tumbuhnya makanan yang memanjakan selera, dan menimbulkan kecanduan," tutur Dr. John Briffa, dokter di Hospital of St John and St Elizabeth, London, dan kontributor untuk berbagai media seperti Men's Health, The Daily Mail, dan Observer.

Berdasarkan pengalamannya menangani pasien baik yang "picky eater" maupun yang cenderung makan segalanya, Dr. Briffa mendapati bahwa orangtua biasanya tidak menawarkan alternatif makanan ketika si anak menolak makanan yang ditawarkan. Kebiasaan makan yang baik seharusnya diawali sejak anak masih kecil, ketimbang mengubah kebiasaan makannya ketika sudah lebih besar.

Nah, bagaimana dengan Mama?