Ini Kebiasaan Orangtua Di Ruang Praktik Dokter Yang Malah Bikin Anak Jadi Tidak Sehat

By Soesanti Harini Hartono, Selasa, 8 Agustus 2017 | 09:30 WIB
Perilaku orangtua yang kurang tepat di ruang praktik dokter dapat berdampak kurang baik bagi perkembangan psikologi anak (Santi Hartono)

Nakita.id- Dalam membesarkan seorang anak, mau tak mau orangtua tiap kali harus berurusan dengan masalah kesehatan, baik fisik maupun psikologis.  Ternyata, kedua hal ini tak dapat dilepaskan satu sama lain alias  saling berhubungan.

Contohnya perilaku di ruang praktik dokter. Sering kali orangtua berbicara tanpa memikirkan dampaknya pada anak. Padahal perilaku orangtua yang kurang tepat dalam menjaga kesehatan anak, dapat berdampak kurang baik bagi perkembangan psikologi anak.

Nah, berikut  beberapa ini kejadian yang kerap ditemukan di ruang praktik dokter seperti dituliskan oleh  Spesialis Kesehatan Anak dr. Martinus M. Leman, DTMH, SpA dari RS Siloam TB Simatupang, Jakarta Selatan di Tabloid Nakita 850.

# Menakut-nakuti anak, semisal, “Kalau nakal, nanti disuntik dokter, lo!”

Adakalanya anak perlu mendapat suntikan dari dokter, entah untuk imunisasi, sakit, atau karena perlu diperiksa darahnya di laboratorium. Umumnya, hal ini menakutkan bagi anak.

Celakanya, ada orangtua yang justru memanfaatkan ketakutan anak ini sebagai “senjata” agar anak mau menuruti perintah/keinginan orangtua. Maka, ditakut-takutilah si anak, “Hayoo… cepat dihabiskan makanannya. Kalau tidak, nanti disuntik dokter, lo!”

Padahal, perilaku orangtua yang seperti ini sangat tidak baik bagi perkembangan psikologi anak, karena ia akan menjadi sangat ketakutan ketika harus dibawa ke dokter untuk diperiksa.

Alhasil, dokter pun akan mengalami kesulitan untuk memeriksanya, apalagi jika harus menyuntik atau mengambil darah anak guna keperluan pemeriksaan di laboratorium.

Bahkan, tak jarang ditemukan anak yang sangat histeris ketika akan dibawa ke dokter, hanya karena terlalu sering ditakut-takuti akan disuntik. Kalau sudah begini, orangtua juga yang susah, kan?

Baca juga: Ini Rahasia Agar Anak Tak Takut Ke Dokter

# Melempar peran mendidik anak ke dokter.

Menghadapi anak yang sudah agak besar dan mulai dapat berargumen, tak jarang orangtua kehabisan kata-kata untuk mengajarkan hidup sehat.

Misalnya, ketika mengajarkan rajin gosok gigi, tidur tidak terlalu malam, mengonsumsi makanan sehat, dan sebagainya. Alih-alih menjelaskan pada anak, ada  orangtua yang malah meminta sang dokter untuk memberikan nasihat pada anak.

Orangtua “melemparkan” peran mendidik anak kepada si dokter. Sudah gitu, usai dokter menasihati anak, si orangtua dengan enteng berkata kepada anaknya, “Tuh, kan… dokter yang bilang harus gosok gigi, bukan Papa….”

Secara psikologis, perilaku ini tidak baik, sebab seakan-akan menunjukkan bahwa orangtua tidak tahu yang terbaik bagi anak dan sekadar menuruti perintah dokter.

Bila hal ini sering terjadi, lama-lama anak lebih memercayai dokternya ketimbang orangtuanya, sehingga anak lebih patuh pada perkataan dokter. Jangan salahkan anak kalau akhirnya jadi tak menghargai orangtua.

# Terlalu takut anak sakit sehingga sering sekali periksa darah sendiri.

Tak ada orangtua yang tidak khawatir bila anaknya sakit, namun tentunya semua harus proporsional. Kalaupun anak perlu pemeriksaan darah, sebaiknya diperiksakan ke dokter dulu. Bila perlu, diskusikan dulu, apakah memang diperlukan pemeriksaan laboratorium dan apa yang perlu diperiksa.

Sebagai contoh kasus, saking ketakutan anaknya terkena demam berdarah, seorang ibu memeriksakan sendiri anaknya ke laboratorium untuk pemeriksaan darah.

Padahal, anak baru demam sehari dan tidak ada indikasi pemeriksaan darah pada saat itu. Di sisi lain, bisa dibilang kebanyakan demam sehari disebabkan infeksi virus ringan yang akan sembuh sendiri dalam 2—3 hari.

Akibat anak sedikit-sedikit disuntik untuk diperiksa darah, yang sebenarnya hanya karena ketakutan orangtua, akhirnya anak dapat menjadi sangat penakut, cengeng, dan tidak percaya lagi pada sekelilingnya.

Baca juga: Tip Agar Anak Berani Ke Dokter

# Sindrom si bungsu si lemah dan si sulung tangguh.

Dalam beberapa kebiasaan di keluarga, kerap kali ada anggapan bahwa si sulung harus menjadi contoh anak yang tangguh. Akibatnya, anak sulung dianggap tidak boleh mengeluh.

Masalahnya, akibat dikondisikan “tidak boleh mengeluh”, dapat terjadi ia sebenarnya sudah kesakitan tetapi takut untuk menceritakan kepada orangtuanya.

Hati-hati, hal ini bisa berakibat fatal pada si anak! Bayangkan jika orangtua baru menyadari si sulung “sungguh” sakit setelah dalam kondisi yang sangat parah?

Sebaliknya, terhadap si bungsu, orangtua mengganggapnya sebagai yang paling lemah. Ketika si bungsu mengeluh hal sedikit saja, seluruh keluarga panik dan membawanya ke dokter untuk diperiksa segala macam. Akibatnya, anak jadi “cengeng”, mudah menyerah bila mengalami kesulitan.

Selain itu, adanya perlakuan yang bertolak belakang antara si sulung dan si bungsu ini, kerap membuat perkembangan psikologis keduanya jadi tidak baik. Misalnya antara kakak dan adik menjadi saling iri dan merasa rasa sayang orang tua tidak sama besar pada tiap anak. Hal ini dapat membuat sibling rivalry semakin parah, dan tidak jarang muncul rasa sakit hati hingga dewasa.

# Status “anak mahal”.

Tak jarang terjadi, pasangan suami istri menikah cukup lama dan belum dikaruniai buah hati. Setelah berbagai upaya dilakukan, bertahun-tahun kemudian barulah lahir seorang anak. Biasanya muncul sebutan  “anak mahal” lantaran orangtua telah menghabiskan banyak biaya untuk berobat ke sana kemari demi mengupayakan hadirnya sang buah hati.

Celakanya, label ini kerap melekat terus, bahkan setelah  adiknya lahir di kemudian hari. Buntutnya, muncul julukan “anak mahal” bagi si kakak, sementara adiknya dianggap “tidak mahal”. Padahal sesungguhnya adakah perbedaan harga di antaranya?

Tanpa disadari, hal ini dapat membuat anak sulung merasa lebih berharga dan lebih penting dibanding adiknya. Sedangkan sang adik dapat merasa rendah diri, karena merasa tidak memiliki “harga” yang sama berartinya bagi kedua orangtuanya.

# Status “anak kebobolan”

Ketika orangtua memutuskan untuk tidak memiliki tambahan anak lagi, misal, karena sudah cukup umur, namun tiba-tiba sang ibu hamil dan hadir seorang anak lagi, tak jarang muncul sebutan “anak kebobolan”.

Tentu saja, istilah ini sangat tidak baik bila sampai diketahui oleh si anak, karena memberikan kesan anak lahir tidak diinginkan oleh kedua orangtuanya.

Bagaimanapun, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang anak yang merasa tidak diinginkan orangtuanya. Tak jarang, anak yang menginjak remaja bila mendengar ini, akan merasa kehadirannya tidak diharapkan oleh keluarga.

Buntutnya, mereka cenderung ingin segera keluar dari lingkungan keluarganya, karena merasa tidak diharapkan kehadirannya. Biasanya mereka akan lebih terikat dengan kawan-kawannya ketimbang dengan keluarganya.

# Orangtua bertengkar di depan anak dan dokter.

Orangtua berbeda pendapat mengenai cara merawat anak, tentu hal ini masih dalam batas wajar bila dapat dikomunikasikan antara ayah dan ibu.

Namun, kerap terjadi, ketika anak sakit, orangtua malah saling menyalahkan satu sama lain di depan anak. Tak jarang ayah mengatakan ibu tidak dapat menjaga anak, tidak perhatian sama anak sehingga anak jadi sakit, dan sebagainya. Parahnya lagi, hal ini kerap terjadi ketika sedang membawa anaknya untuk diperiksa dan berkonsultasi dengan dokter.

Alhasil, anak pun mengalami tekanan emosional karena merasa menjadi sumber pertengkaran kedua orangtuanya. Kalau sudah begini, tak jarang anak merasa dirinya hanya sumber masalah dalam keluarga dan merasa sebagai pemicu pertengkaran orangtuanya.

Anak yang mengalami ini dapat menjadi ketakutan bercerita kalau ada masalah atau merasa sakit, karena khawatir apa yang dialami menjadi sumber pertengkaran orangtua. Biasanya ia akan menjadi lebih tertutup terhadap orangtuanya, apalagi bila ada masalah. (*)