Social Climber: Pamer Di Media Sosial Versus Kenyataan Hidup

By Soesanti Harini Hartono, Jumat, 11 Agustus 2017 | 11:00 WIB
Karena hal inilah banyak orang menyebut social climber adalah sebuah penyakit kejiwaan. Alasannya, karena social climber akan merasa gelisah dan takut jika terlihat miskin. (Santi Hartono)

KARENA INGIN DITERIMA DAN DIAKUI

Menurut psikolog klinis dewasa dari Pusat Informasi dan Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan, seseorang menjadi social climber biasanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk diterima dan diakui oleh masyarakat.

Harapannya bisa bermacam-macam, bisa hanya supaya dibilang keren, gaul, pintar, juga bisa supaya merasa lebih powerful. Untuk beberapa orang, menurut Anna keberhasilan diterima dilingkungan sosial tertentu akan membawa kebanggaan dan perasaan bahwa ia diterima.

Dengan begitu dia akan merasa puas juga senang. Tapi, apakah ini bisa memberi kepuasan dalam jangka panjang? Apakah ini akan membuatnya bahagia dalam arti yang hakiki?

Jawabannya tidak. Karena jika seorang social climber mau jujur, hidupnya akan selalu tersiksa, dalam setiap gayanya dia akan terbebani.

Di sini bisa kita lihat, karena setiap hari, bahkan setiap waktu seorang social climber hidupnya selalu memaksakan diri, dirasakan atau tidak sejujurnya mereka merasa tidak nyaman dalam hidupnya, tidak percaya diri, dan selalu khawatir tidak diterima di lingkungannya apabila tidak tampil seperti kalangan jet set.

Karena hal inilah banyak orang menyebut social climber adalah sebuah “penyakit kejiwaan”. Alasannya, karena social climber akan merasa gelisah dan takut jika terlihat miskin, merasa minder jika tidak bergaya atau berpenampilan jet set, pastinya social climber tidak bisa menerima kondisi dirinya pada keadaan yang sebenarnya.

Tapi menurut Anna, social climber tidak termasuk dalam gangguan patologis dari sisi psikologi klinis. Walau tidak menutup kemungkinan, social climber seseorang yang menderita gangguan tertentu yang disebabkan stres atau break down akibat penolakan dari lingkungan sosial yang dituju.

“Gangguan psikologis yang diderita lebih karena penolakannya, bukan karena menjadi social climber-nya,” jelas Anna.

Walaupun demikian sebaiknya kita tidak menjadi social climber, dan yang sudah menjadi social climber untuk segera sadar. Karena kebahagian sejati itu bisa didapatkan dengan menghargai dirinya sendiri apa adanya. (*)