Ayah yang Sibuk Bekerja Akan Menularkan Kebiasaan Ini pada Anak

By Dini Felicitas, Selasa, 22 Agustus 2017 | 09:15 WIB
Apa yang terjadi jika ayah kurang meluangkan waktu untuk anak? (Dini Felicitas)

Nakita.id - Pepatah asing yang menyebutkan "Like father, like son" mungkin ada benarnya. Tidak hanya tentang sifat ayah dan anak laki-lakinya yang kerap memiliki persamaan, tapi juga mengenai etos kerja anak saat dewasa.

Menurut sebuah penelitian terbaru, ayah yang menghabiskan lebih banyak waktu dengan pekerjaan, akan membuatnya kehilangan waktu berharga bersama anak. Hal ini pada akhirnya berdampak pada perkembangan jangka panjang anak, khususnya pada anak laki-laki. Sebab awal kehidupannya, anak-anak lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya.

Anak perempuan juga sebenarnya dapat sangat dipengaruhi oleh pengalaman saat kanak-kanak, namun mereka tidak selalu didorong untuk menjadi wanita karier daripada menjadi ibu rumah tangga.

Penelitian ini dilakukan karena sebuah studi yang menyelidiki tentang gaya hidup kerja yang terlalu berfokus pada nilai-nilai individu yang dilakukan oleh orang dewasa. Ternyata, hal itu dipicu oleh pengalaman masa kecil yang sama.

"Para pekerja bukan seperti papan tulis kosong saat memasuki dunia kerja. Banyak dari sikap mereka yang sudah sangat berakar bahkan dari sejak kecil," kata Dr. Ioana Lupu, penulis penelitian ini.

Studi dilakukan dengan melakukan 148 wawancara mendalam dengan para karyawan dari firma hukum dan akuntansi, dua pekerjaan yang dikenal memiliki jam kerja paling lama. Masing-masing kemudian dipisahkan menjadi empat kategori oleh tim peneliti, berdasarkan seberapa banyak mereka meniru sikap orangtua mereka saat bekerja, dan apakah mereka mau mengadopsi perilaku semacam itu atau tidak.

Hasilnya, ditemukan perbedaan mencolok antara pria dan wanita yang tumbuh di rumah tangga "tradisional' di mana ayah adalah pencari nafkah. Pria yang tumbuh melihat ayah mereka yang sering terlambat pulang ke rumah cenderung tidak terpengaruh oleh rasa bersalah saat bersikap tidak seimbang antara pekerjaan dan keluarga.

Sementara perempuan jauh lebih merasa berkonflik terhadap hal ini, mereka dilaporkan memiliki perasaan yang bercabang. Dr. Lupu menjelaskan, di satu sisi perempuan ingin seperti ayah mereka yang memiliki karier, tapi juga ingin menjadi orangtua yang baik seperti ibu mereka.

Beda lagi dengan anak yang memiliki ibu bekerja. Sebagian akan merasakan luka masa kecil karena kehilangan sosok ibunya. Seorang peserta perempuan ingat dengan jelas bagaimana ibunya tidak pernah hadir untuk dirinya, sedangkan ibu anak-anak lain menunggu di gerbang sekolah.

Tetapi pada peserta perempuan lain, memiliki ibu yang tinggal di rumah justru telah menimbulkan keinginan untuk memiliki karier yang kuat sejak dini. Dalam kasus ini, ibu kadang-kadang menganggap dirinya sebagai "model peran negatif" sehingga mendorong anak perempuan untuk tidak mengulangi kesalahan mereka.