Waspada, Ternyata Ada Anak Yang Fobia Makanan. Dampaknya Bisa Kekurangan Gizi!

By Soesanti Harini Hartono, Senin, 18 September 2017 | 07:30 WIB
Kekhawatiran terbesar pada anak yang pemilih terhadap makanan adalah ia akan kekurangan satu atau lebih zat gizi tertentu. (Santi Hartono)

Nakita.id.- Dewasa ini, kita sering mendengar orangtua mengeluhkan anak balitanya yang susah makan. Anak tidak suka makan nasi, menolak makan sayur, hanya mau makan junk food, adalah sebagian problem yang umum dihadapi orangtua saat ini. Anak yang susah dan pilih-pilih makanan ini biasanya disebut picky eater (PE).

Baca juga: Apakah Anak Mulai Pilih Pilih Makanan

Namun jangan salah, PE hanyalah suatu istilah, bukan menandakan suatu kelainan. Perilaku PE bersifat sementara dan biasanya terjadi pada saat anak berusia 12 bulan hingga 5 tahun. Meski terkadang cukup mengkhawatirkan, namun perilaku PE pada balita sebenarnya dapat dibilang normal dan akan berhenti dengan sendirinya ketika anak telah melewati fase balita.

William Sears, MD, dokter anak terkenal dari Amerika Serikat, dalam situsnya askdrsears.com, menerangkan, proses tumbuh kembang yang dialami anak balita turut memengaruhi nafsu makan mereka. Menurut Sears, pertumbuhan seorang anak berlangsung sangat pesat di setahun pertama usianya. Hal ini antara lain ditandai dengan pertambahan berat badannya yang bisa mencapai tiga kali lipat.

Memasuki tahun kedua, kenaikan berat badan si kecil berjalan lebih lambat sehingga kebutuhan makannya pun berkurang. Ini merupakan kondisi yang normal. Ditambah lagi, setelah si kecil mampu berjalan dan berlari, ia akan menjadi lebih aktif bergerak ke sana kemari dan enggan duduk diam agak lama, termasuk saat waktu makan.

BUKAN SEKADAR PEMILIH MAKANAN

Lain halnya bila anak mengalami selective eating disorder (SED), yakni  gangguan makan yang lebih serius, lebih ekstrem dibandingkan PE. Masalah ini biasanya ditemui pada anak usia 3 tahun ke atas dan bisa menetap hingga ia dewasa.

Anak yang menderita SED bukan sekadar pemilih makanan. Dalam The British Journal of Clinical Child Psychology and Psychiatry disebutkan, anak yang menderita SED menunjukkan keengganan untuk mencoba makanan baru atau makanan yang belum pernah ia makan sebelumnya. Seolah-olah ia mengalami “fobia” terhadap makanan yang ditakuti tersebut.

Anak hanya mau makan beberapa jenis makanan tertentu atau makan makanan yang dimasak dengan cara tertentu. Misalnya, hanya mau makan kentang goreng dari restoran A dan menolak kentang goreng yang tidak berasal dari restoran tersebut, meski telah dimasak atau diolah dengan cara yang sama. Contoh lain, anak menolak makan nasi dalam bentuk olahan apa pun seolah-olah ia “fobia” terhadap nasi.

Ciri lainnya, bila tiba waktu makan anak selalu rewel. Kalaupun mau makan, membutuhkan waktu lama sampai selesai, terkadang makanan tidak dihabiskan.  Anak juga malas mengunyah dan menelan.

Sejak 2013, SED secara resmi ditambahkan ke dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 dan mendapat sebutan lain: Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID).

Penambahan ini berarti SED digolongkan sebagai salah satu jenis gangguan makan selektif seperti anoreksia dan bulimia. Buku mengenai klasifikasi standar gangguan mental itu diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan menjadi panduan umum bagi banyak praktisi kesehatan mental di seluruh dunia.