Wajar Ifan Seventeen Masih Alami Trauma, Ini yang Dirasakan Korban Selamat Pasca-Tsunami Meski Sudah Lama Berlalu

By Rosiana Chozanah, Sabtu, 29 Desember 2018 | 20:42 WIB
Ifan Seventeen masih alami trauma pasca-tsunami (youtube/TV One - instagram/ifanseventeen)

Nakita.id - Sepekan sejak tragedi bencana tsunami Selat Sunda melanda daerah Banten serta Lampung Selatan, tepatnya pada Sabtu (22/12) pukul 21.27 malam.

Tsunami tiba-tiba ini menewaskan ribuan orang dan ratusan orang luka-luka.

Hal yang membuat pilu adalah para korban selamat namun harus kehilangan anggota keluarga tercinta mereka, seperti vokalis Ifan Seveteen.

Baca Juga : Bukan Ifan Seventeen, Terungkap Sosok Ini yang Pertama Kali Menemukan Jenazah Dylan Sahara!

Dalam sebuah wawancara, Ifan mengaku dirinya masih merasa trauma.

Terlebih dia harus kehilangan semua anggota band-nya yang sudah seperti keluarga sendiri dan istri tercinta, Dylan Sahara.

Hingga kini, Ifan mengaku dirinya belum siap untuk kembali ke Jakarta dan memulai aktivitas seperti biasanya.

Sejak pemakaman sang istri, Ifan masih tinggal di Ponorogo, tempat asal Dylan Sahara.

"Ini aja aku ngga tahu apa yang akan aku lakukan habis ini ya. Buat pulang ke rumahku di Jakarta pun aku belum punya keberanian, masih takut," ujar Ifan Seventeen dilansir dari Youtube Sakti TV.

Ifan mengaku bahwa mentalnya belum cukup kuat untuk menghadapi kehidupannya di Jakarta.

"Ya karena di sana kenangan sama istriku semua di sana. Jadi aku takut semakin masuk gitu karena mentalku memang belum kuat sih. Belum kuat buat pulang ke Jakarta," sambungnya.

Baca Juga : Sekarang Hidup Sebatang Kara, Aa Gym Siap Menjadi Orangtua Asuh Putri Bungsu Aa Jimmy yang Selamat dari Tsunami Banten

Lebih dari itu, Ifan mengaku belum siap melanjutkan kariernya sebagai seorang penyanyi.

"Mungkin namanya trauma, tapi begitulah, aku merinding kalau dengar ambulance. Apalagi aku lihat panggung, kalau aku lihat panggung tidak berani. Apalagi aku harus naik panggung, pegang mic dan aku lihat tidak ada saudaraku di sampingku," kata Ifan dikutip dari TribunSeleb.

Pengalamannya saat dihantam gelombang tsunami masih tergambar jelas di dalam pikirannya.

Hal yang ia pikirkan saat itu hanya 2, hanya sebuah mimpi atau justru sudah kiamat.

"Aku enggak pernah membayangkan manggung kena tsunami, di atas panggung ada tsunami gitu. Jadi pikirku waktu itu cuman 2, kiamat atau mimpi," jelasnya.

"Karena menurutku kayak panggungnya bergerak, terus ada air, jadi aku wah ini mimpi atau wah ini kiamat. Sampai akhirnya masuk ke dalam air baru otakku paham dan mikir ini air, ada rasa asin, jangan sampai masuk ke mulut, jangan panik, aku harus cari cara buat selamat," katanya.

Ternyata dampak trauma pasca-tsunami seperti ini juga dirasakan oleh korban selamat dari tempat yang lain.

Dalam sebuah laporan mendalam yang disusun selama satu tahun oleh para perawat yang meneliti dampak psikologis para korban selamat tsunami, mereka masih ingat betul bagaimana rasanya terkena musibah tak diinginkan tersebut.

"Kami mewawancarai satu persatu dan secara berkelompok dengan 19 orang yang tergabung dalam Palang Merah Swedia untuk mengetahui bagaimana tragedi tersebut berdampak pada mereka," tutur koordinator penulis, Dr Maj-Britt Raholm dari Haugesund University College, Norwegia.

Baca Juga : Selain Manado, BMKG Prediksi Daerah yang Akan Dihantam Gelombang Tinggi Diatas 4 Meter pada 28 Hingga 31 Desember!

Laporan mereka sudah dipublikasi dalam The Journal of Advanced Nursing.

Orang-orang yang mereka tanyai adalah para korban selamat tsunami Aceh, terjadi pada 26 Desember 2006 silam.

Ya, setidaknya ada 543 turis dari Swedia, termasuk 140 anak di bawah usia 18 tahun, turut menjadi korban keganasan gelombang tsunami itu, menurut Science Daily.

Peneliti, juga termasuk para ahli dari Institut Karolinska di Stockholm, mewawancarai 13 wanita dan enam pria, berusia 24 hingga 67 tahun, pada waktu 21 bulan setelah tsunami.

Berarti mereka melakukan penelitian 1 tahun 9 bulan pasca-tsunami Aceh.

Mereka juga melakukan wawancara dengan para kerabat yang ditinggalkan anggota keluarga tercinta.

Dari hasil wawancara tersebut, para peneliti membaginya menjadi tujuh tema kronologis pasca-tsunami.

1. Mengalami hal tak terbayangkan

Awalnya, mereka tidak mengira apa yang akan terjadi.

Tiba-tiba semua orang panik dan berteriak, mencari cara untuk menyelamatkan diri.

Baca Juga : Banyak Bencana Pada 2018, Ini Prediksi Bencana yang Akan Terjang Indonesia pada 2019 Menurut BNPB!

Mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi dan bahkan tidak tahu menahu tentang konsep tsunami.

2. Perjuangan bertahan hidup

Kekuatan gelombang air laut mampu menghantam semuanya; gedung, kendaraan, jalan.

Dan orang-orang merasa mereka mendekati kematian.

Mereka berjuang untuk tetap hidup sekaligus kekhawatiran akan keluarga dan orang tersayang tergambar dipikiran mereka.

"Aku marah dan frustasi. Aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa akan berakhir seperti ini," tutur salah satu korban.

3. Membantu orang lain

Banyak orang tidak sadar seberapa parahnya mereka terluka, karena rasa syok dan dipicu adrenalin.

Setiap orang melakukan apa yang mereka bisa untuk membantu orang lain.

"Banyak orang yang terluka harus dirawat. Kami juga meletakkan mayat-mayat itu secara beruntung sehingga mereka bisa dimakamkan," tutur korban selamat lainnya.

4. Mengalami penderitaan yang tak tertahankan

Korban juga merasa bersalah karena tidak dapat menemukan anggota keluarganya, tidak mampu membantu orang lain dan bahkan menyelamatkan anak-anak agar terhindar dari kematian.

Meninggalkan tempat bencana tanpa menemukan anggota keluarga membuat mereka merasa gagal.

Baca Juga : Tsunami Banten: Tak Ingin Ada Korban Jiwa Lagi, BMKG & BNPB Beri Pesan Ini pada Warga yang Tinggal di Sepanjang Pantai

Bahkan seorang korban bercerita ia memimpikan bayi terluka parah yang dirawatnya setiap malam.

5. Berkonsentrasi pada pencarian

Setelah itu, prioritas utama adalah menemukan keluarga atau kerabat yang hilang.

Mereka mengunjungi rumah sakit dan kamar mayat hingga harus memeriksa ribuan foto korban meninggal.

Seorang korban menceritakan bagaimana dirinya frustasi ketika harus memeriksa setiap kamar mayat dan menghirup 'bau kematian'.

6. Menemukan makna di tengah ketidakberartian

Di sisi lain, bencana juga membuat orang-orang saling menjaga satu sama lain.

Baik dulunya kenal atau tidak.

Seorang korban bercerita tentang orang-orang yang bersamanya terdiri dari kakek, nenek dan para korban lain dan mereka bertahan hidup bersama.

Baca Juga : Kisah Ibu dan Bayinya yang Masih 1 Bulan Tertimbun Reruntuhan Selama 11 Jam, Begini Kondisinya Sekarang!

7. Kesembuhan dan kesendirian

Duka dan kehilangan justru menyatukan orang-orang.

Ketika para korban selamat kembali, anggota keluarga di rumah atau kerabat menjadi lebih menjaga mereka.

"Sangat aneh bahwa sesuatu yang baik justru muncul dari pengalaman yang mengerikan (tsunami)," tutur mereka.

Mereka juga masih merasa trauma, salah seorang korban mengatakan ia berjuang dalam mengendalikan kepanikannya.

Oleh karena itu, Dr Raholm mengatakan perawatan dari bencana seperti tsunami sangat penting bagi masa depan para korban selamat.

"Pihak medis profesional mempunyai peran penting dalam merawat para korban bencana, sebab dampak dari ini bisa bertahan selama bertahun-tahun dan beberapa kasus, ada orang yang tidak bisa pulih dari ini," tutur Dr Raholm dalam laporan tersebut.

Baca Juga : Kisah Kakek 80 Tahun yang Lari Sejauh 2 Kilometer dan Ibu Hamil 6 Bulan yang Sempat Terendam Gelombang Tsunami Lampung