#LovingNotLabelling: Mengenali Perilaku Anak yang Terkena Trauma

By Cecilia Ardisty, Kamis, 14 Februari 2019 | 19:00 WIB
#LovingNotLabelling: Mengenali Perilaku Anak yang Terkena Trauma ()

 

Nakita.id - Labelling yang sering Moms berikan kepada anak secara tidak sadar dan sadar bila terjadi secara terus menerus membuat anak trauma.

Komentar-komentar labelling yang sifatnya negatif dapat mempengaruhi konsep diri anak.

Padahal konsep diri anak adalah hal mendasar bagi tumbuh kembang anak karena anak yang ter-labelling akan membentuk perilaku tertentu.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Anak Rentan Terkena Trauma Karena Labelling?

Menurut Gisella Tani Pratiwi, M. Psi., psikolog anak di Yayasan Pulih, trauma adalah kejadian yang membuat seseorang berada dalam bahaya baik secara fisik maupun secara psikologis.

"Trauma psikologis memang bisa terjadi dari kejadian-kejadian yang menyakitkan pada diri si anak baik sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba maupun sesuatu yang terjadi secara berpola," jelas Ella.

Kalau Moms memberikan terus menerus memberikan komentar-komentar labelling secara negatif dalam proses pengasuhan kepada anak akan berakibat pada kondisi tertentu.

Kondisi tertentu mengarah pada trauma, namun untuk melihat lebih jauh apakah anak Moms terkena perlu pemeriksaan lebih mendetil dengan ahlinya.

Baca Juga : #LovingNotLabelling : Anak Pintar Jadi Bodoh Karena Kerap Dibilang 'Dasar Anak Bodoh!

Namun Moms dapat mengenali gejala trauma pada anak.

"Jadi ketika orang tua melihat bahwa anaknya kemudian berubah dari biasanya dia tampilkan kemungkinan ada dampak-dampak trauma trauma yang cukup mendalam atau cukup mengenai diri si anak," kata Ella.

Bila sudah melihat perubahan tak biasa tersebut, sebaiknya Moms meminimalkan tindakan-tindakan tertentu dan memperbaiki relasi antara orang tua dan anak.

Hal ini karena jika relasi kurang baik ini diteruskan semakin mempengaruhi konsep diri anak.

Selain itu, bila relasi kurang baik ini tidak segera diperbaiki anak akan belajar menangkap bahwa orang yang kita sayangi saja memberikan perilaku tidak nyaman.

Dengan kata lain setiap label yang Moms berikan pada anak menjadi pembelajaran yang kurang baik untuk ke depannya.

"Orangtua harus aware dan banyak ber-refleksi juga, apa saja sih perlakuan yang saya lakukan kepada anak? Kalau saya di posisi anak saya, bagaimana perasaan saya ketika saya mendapat perlakuan seperti itu?

Atau lebih jauh lagi Moms bisa ber-refleksi, adakah pengalaman masa lalu terutama ketika dalam pengasuhan ketika saya kecil, apakah saya menerima pengasuhan yang mirip dengan apa yang saya sampaikan kepada anak saya sekarang?" jelas Ella.

Setelah dari refleksi tersebut Moms dapat mengamati respon anak dari sikap baru yang kita terapkan.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Label Merusak Identitas Anak, Ini 3 Bahayanya!

Ella mengatakan agar Moms terhindar dari tindakan melabel sebaiknya kita memusatkan perhatian pada potensi atau sisi positif Si Kecil.

"Jadi ketika anak dianggap bandel karena menganggap suatu peraturan atau suatu ketentuan diterapkan, lebih baik Moms memberi masukan dengan deskripsi perilakunya.

Misalnya, "Nak berantakan sekali mainanmu, ayo diberesin," terang Ella.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Melabel Anak Bisa Melukai Hatinya, Ini 3 Cara Terbaik Hindari Labelling

Jadi, tindakan yang dapat Moms lakukan agar labelling tidak berujung pada trauma adalah mendeskripsikan kondisi atau perilaku yang salah dan memberitahu bagaimana penyelesaiannya.

Kesimpulannya, perilaku anak yang berubah kemungkinan dampak dari labelling terus menerus yang secara tidak sadar dan sadar Moms lakukan.

Solusinya adalah ber-refleksi apakah pola pengasuhan yang saya berikan membuat anak trauma dan memperbaiki relasi.