Belum Kelar Wabah Virus Corona, Para Ilmuwan Malah Sebut Seantero Dunia Tengah ‘Dihantui’ Gempuran Banyak Bencana Akibat dari Peristiwa Alam Ini, Ada Apa?

By Ratnaningtyas Winahyu, Senin, 18 Mei 2020 | 07:39 WIB
Ilustrasi matahari (Pixabay.com)

Nakita.id – Wabah virus corona masih menjadi momok yang menakutkan bagi banyak negara di dunia.

Pasalnya, meski telah berbulan-bulan, penularan virus masih terjadi yang mengakibatkan jumlah kasus terus bertambah setiap harinya.

Terlebih lagi, vaksin untuk memberantas virus corona ini juga belum ditemukan.

Baca Juga: Bukti Virus Corona Masih Bisa Dilawan, Salah Satu Suku di Ujung Pulau Jawa Bagian Barat Bagikan Berita Baik Nol Kasus Covid-19 Hanya Berbekal Ritual Ini, Apa Itu?

Di saat wabah virus corona masih belum menemui titik terang, kini dunia justru dihadapkan dengan bayang-bayang terjadinya bencana.

Hal tersebut berawal dari periode ‘lockdown’ yang saat ini tengah dialami oleh matahari.

Mengutip dari Kompas.com, para ilmuwan mengatakan, matahari saat ini tengah memasuki periode ‘lockdown’ yang berpotensi menimbulkan berbagai bencana seperti gempa bumi, cuaca beku, dan kelaparan.

Baca Juga: Ingin Tetap Tampil Keren di Hari Raya Idul Fitri Meski Sedang Pandemi? Berikut Sederet Tips Memillih Model Baju Koko Lebaran 2020

Rupanya, lockdown yang dimaksud adalah aktifitas permukaan matahari yang sedang turun drastis, karena berada dalam periode solar minimum (minimum matahari).

Akibat hal tersebut, sinar matahari pun mengalami penurunan drastis yang ditandai dengan bintik matahari yang menghilang.

“Solar minimum sedang berlangsung, dan ini parah,” ujar Astronom Dr Tony Phillips dikutip dari The Sun via Kompas.com, Minggu (17/5/2020).

Baca Juga: Bukan Cuma Panas Tinggi dan Batuk, Pasien Positif Corona Ini Ceritakan Gejala Aneh yang Timbul Berlarut-larut

Menurut Philips dari jumlah bintik matahari yang ada, kondisi saat ini termasuk yang terparah dalam satu abad terakhir.

Karena hal tersebut, medan magnet matahari sontak menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya.

"Kelebihan sinar kosmik menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan perubahan udara kutub, memengaruhi elektro-kimia atmosfer bumi, dan dapat membantu memicu petir," ujarnya.

Baca Juga: Harapan Baru di Tengah Pandemi Covid-19 untuk Indonesia, Pemerintah Segera Jual Belikan Obat Virus Corona Per Agustus Mendatang, Ini Pernyataannya

Kondisi ini pun membuat para ilmuwan NASA khawatir Dalton Minimum yang pernah terjadi antara tahun 1790 dan 1830 kembali terjadi.

Pasalnya, pada saat Dalton Minimum terjadi, suhu menjadi sangat dingin, munculnya letusan besar gunung berapi, gagal panen, dan timbulnya kelaparan.

Saat itu, suhu bahkan anjlok hingga 2 derajat celcius selama 20 tahun dan produksi pangan dunia merosot.

Salah satu efek Dalton Minimum di Indonesia adalah letusan Gunung Tambora pada 10 April 1815, yang menewaskan sedikitnya 71.000 orang.

Baca Juga: Meski Kotanya Sudah Menjadi Epicentrum Baru Wabah Virus Corona, Justru Begini Respons Tak Terduga Khofifah Saat Disarankan Menerapkan PSBB Sepulau Jawa

Dampak lainnya, saat itu, juga menjadi tahun tanpa musim panas di tahun 1816.

Melansir dari Forbes yang menukil data dari Spaceweather.com, sudah ada 100 hari di tahun 2020 ini, di mana matahari menunjukkan nol bintik matahari.

Tahun ini, matahari pun telah mengalami kekosongan tanpa bintik sebesar 76 persen.

Sementara itu, pada tahun 2019, matahari sempat mengalami kekosongan sebesar 77 persen. Dua tahun berturut-turut sedikit bintik membuat minimum matahari semakin parah.

Baca Juga: Presiden Juga Manusia Biasa, Begini Cara Sederhana Jokowi Melebur Rasa Lelah di Tengah Perjuangannya Menangani Covid-19

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ilmuwan: Matahari dalam Fase 'Lockdown', Waspadai Berbagai Bencana".