Jebol Kasus Harian Covid-19 Sentuh 1.331, Ahli Epidemiologi Beberkan 4 Faktor Pemicu Pecahnya Rekor Tertinggi Kasus Virus Corona di Indonesia

By Diah Puspita Ningrum, Jumat, 19 Juni 2020 | 08:15 WIB
Ilustrasi melonjaknya kasus harian virus corona (Freepik.com)

Nakita.id - Kasus virus corona di Indonesia setiap harinya masih mengalami peningkatan.

Bahkan ketika berita ini ditulis, jumlah total kasus Covid-19 di Tanah Air sudah menyentuh angka 42.762 kasus.

Jumlah kasus meninggal dunia juga mengalami penambahan menjadi 2.339 dan jumlah sembuh memperlihatkan angka 16.798 orang.

Baca Juga: Bisnisnya di Ujung Tanduk, Ini Kerugian yang Dialami Ruben Onsu Akibat Sengketa Merek Dagang 'Ayam Geprek Bensu'

Sementara itu, pada Kamis (18/6/2020) kemarin menjadi hari dengan jumlah penambahan kasus virus corona terbanyak sejak Maret 2020 lalu.

Ya, penambahan kasus harian virus corona mencetak rekor baru 1.331 kasus mengalahkan rekor tertinggi sebelumnya 1.241 kasus.

Data tersebut didapatkan setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 20.650 spesimen dalam satu hari.

Adapun, total pemeriksaan hingga saat ini ada 580.522 spesimen dari 358.659 orang yang diambil sampelnya. Artinya, satu orang bisa diambil spesimennya lebih dari satu kali.

Melansir dari Kompas.com, epidemiolog sekaligus Juru Bicara Satgas Covid-19 Rumah Sakit UNS, Tonang Dwi Ardyanto mengatakan ada empat hal yang memicu tingginya kasus harian tersebut.

Baca Juga: Dihantui Rasa Takut Umurnya Tak Panjang karena Idap Autoimun, Ashanty Beberkan Kondisinya Usai 'Tersendat' 3 Bulan Tak Bisa Kontrol ke Singapura

1. Pelonggaran aktivitas

Memasuki bulan keempat sejak kasus pertama virus corona ditemukan di Indonesia, tidak bisa dipungkiri kalau publik sudah mulai tak nyaman.

Begitu juga dengan pemerintah yang mulai memperbolehkan pelonggaran aktivitas demi menguatkan kembali perekonomian.

Tonang menyoal pelonggaran PSBB adalah hal sulit dan pahit untuk diambil.

"Ibarat rem dan gas. Kalau direm terus, risikonya berhenti semua. Tidak mencapai apa-apa. Kalau terus gaspol, risikonya bisa tidak terkendali," kata Tonang saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/6/2020).

Menurutnya, hal ini yang hingga saat ini masih belum dapat ditemukan keseimbangan antara gas dan rem tersebut.

Baca Juga: Bak Dua Mata Pisau, Obat Dexamethasone Disebut Bisa Turunkan Angka Kematian Pasien Covid-19, Tapi Punya Efek Samping yang Seperti Ini

2. Tahapan dan kriteria kebijakan pemerintah

Mencari keseimbangan antara rem dan gas bukan perkara mudah, dan itulah yang sedang dialami oleh pemerintah.

Hal ini membuat kebijakan yang diambil para pejabat publik masih terkesan belum jelas dan berubah-ubah.

"Misalnya, kita longgarkan segini, kalau nanti bisa begini, kita tambah longgarnya. Kalau nanti ada begini, kita ketatkan lagi, dan seterusnya," ujar Tonang mencontohkan.

Menurutnya, hal tersebut harus jelas dan disampaikan di awal. Sehingga masyarakat mendapat acuan atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar Dikabarkan Siap Menikah Dalam Waktu Dekat, Anang Hermansyah Beri Bantahan Tegas, Hanya Konten?

3. Faktor pengetesan agresif

Selain itu, ada faktor yang memang tidak bisa dihindari, yakni pengetesan secara agresif.

"Oh jelas itu (testing yang agresif) dan memang itu harapannya," ucap Tonang.

Hanya saja, yang sebenarnya menjadi harapan adalah jumlah pemeriksaan PCR yang meningkat, tapi jumlah orang positif menurun.

Tonang menjelaskan, saat ini angka positivitas masih berkisar di angka 11,5 persen.

"Kalau bisa, justru semakin banyak pemeriksaan PCR itu angka positivitas akan turun sampai di bawah 5 persen. Minimal itu dibawah 5 persen," papar Tonang.

Apabila jumlah pemeriksaan meningkat dan bersamaan jumlah positif juga meningkat, maka sebenarnya masih banyak kasus positif yang selama ini belum terdeteksi.

Baca Juga: Ketula Gara-gara Ucapannya Sendiri, Andien Aisyah Kini Jalani Hidup yang Sama Sekali Berbeda Usai Melahirkan Anak Kedua

4. Masyarakat yang abai

Terakhir adalah faktor yang memperlihatkan kesadaran masyarakat terhadap virus ini.

Tidak lain karena masih banyak yang abai atau tidak peduli serta tidak menerapkan protokol kesehatan yang ada.

"Bahwa masyarakat abai, ya ada faktor tersebut. Tapi yang lebih utama menurut saya memang soal kurangnya acuan bersama untuk mendorong partisipasi masyarakat tadi," kata Tonang.

Kendati demikian, imbuh dia, jangan kemudian mudah menyalahkan begitu saja.

"Ya namanya masyarakat memang beragam kemampuan dan pemahamannya. Kalau tidak acuan dan pegangan, ya makin beragam implementasinya," pungkas dia.

Baca Juga: Persunting Janda Anak Tiga, Perlakuan Tak Tak Biasa Gunawan Dwi Cahyo pada Putri Okie Agustina dan Pasha Ungu Jadi Sorotan