Anak Takut Nasi, Rambutan, Suara Keras, Mereka Anak Beruntung

By Gazali Solahuddin, Selasa, 6 Februari 2018 | 17:00 WIB
Ilustrasi anak takut ()

Nakita.id - Moms, sudah pernah tahu atau mendengar tentang sensory defensiveness?

Jika belum, ini adalah sebuah kondisi di mana seseorang sedemikian sensitif terhadap hal-hal tertentu. Akibatnya muncul penolakan karena menurut yang bersangkutan hal tersebut tidak baik, tidak nyaman, dan tidak aman.

BACA JUGA: Jika Moms Pelit, Ini Dampaknya yang Bisa Terjadi. Masih Berani Pelit?

Dalam kehidupan sehari-hari, sensory defensiveness ini sebetulnya bisa diamati dengan mudah. Pernah kan menemukan kasus anak yang sama sekali tak bisa menyentuh nasi? Setiap kali menyuapkan sesendok nasi saja, ia selalu muntah.

Atau sebaliknya, ada orang yang menganggap hanya nasi gorenglah yang merupakan makanan istimewa sehingga ia tak pernah bosan menyantapnya dari waktu ke waktu. Tidak sedikit juga yang begitu "fanatik" mengenakan bahan pakaian tertentu, semisal katun atau jins.

Hal serupa juga bisa terlihat dalam bentuk keengganan seseorang untuk gosok gigi, ogah potong rambut, melakukan gerakan tutup mulut rapat-rapat saat harus minum obat dan sebagainya.

MUNCULNYA SENSORY DEFENSIVENESS

"Sekalipun ini merupakan suatu masalah, tapi jangan terlalu dicemaskan," ujar dr. Adre Mayza, Sp.S., menanggapi. Pasalnya, setiap manusia, termasuk anak-anak memiliki mekanisme ini dalam otaknya.

Perlu diketahui, semua gerak gerik atau apa pun yang dimunculkan individu ke permukaan, selalu dikontrol, diproduksi atau dibangkitkan oleh otak. "Begitu juga dengan sensory defensiveness," jelas dokter ahli syaraf dari Bagian Neurologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

BACA JUGA: Waspada Ancaman Penyakit Mematikan Karena Banjir, Leptospirosis

Hal senada diungkap pula oleh Jan Sudir Purba MD, Ph.D dari Neuroendokrinologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Menurutnya, otak manusia sangat istimewa, melebihi perangkat canggih apa pun yang ada di dunia.

"Hal-hal sederhana yang bisa ditemukan kapan saja dan di mana pun, bisa menjadi sebuah software bagi otak. Termasuk dalam hal ini stimulasi berupa pengalaman, pembelajaran, maupun asupan gizi. Nah, apa yang ditangkap anak inilah yang akan diolah otak dan disimpan dalam memorinya. Salah satunya ya dalam bentuk sensory defensiveness."