Nakita.id - Moms, sudah pernah tahu atau mendengar tentang sensory defensiveness?
Jika belum, ini adalah sebuah kondisi di mana seseorang sedemikian sensitif terhadap hal-hal tertentu. Akibatnya muncul penolakan karena menurut yang bersangkutan hal tersebut tidak baik, tidak nyaman, dan tidak aman.
BACA JUGA: Jika Moms Pelit, Ini Dampaknya yang Bisa Terjadi. Masih Berani Pelit?
Dalam kehidupan sehari-hari, sensory defensiveness ini sebetulnya bisa diamati dengan mudah. Pernah kan menemukan kasus anak yang sama sekali tak bisa menyentuh nasi? Setiap kali menyuapkan sesendok nasi saja, ia selalu muntah.
Atau sebaliknya, ada orang yang menganggap hanya nasi gorenglah yang merupakan makanan istimewa sehingga ia tak pernah bosan menyantapnya dari waktu ke waktu. Tidak sedikit juga yang begitu "fanatik" mengenakan bahan pakaian tertentu, semisal katun atau jins.
Hal serupa juga bisa terlihat dalam bentuk keengganan seseorang untuk gosok gigi, ogah potong rambut, melakukan gerakan tutup mulut rapat-rapat saat harus minum obat dan sebagainya.
MUNCULNYA SENSORY DEFENSIVENESS
"Sekalipun ini merupakan suatu masalah, tapi jangan terlalu dicemaskan," ujar dr. Adre Mayza, Sp.S., menanggapi. Pasalnya, setiap manusia, termasuk anak-anak memiliki mekanisme ini dalam otaknya.
Perlu diketahui, semua gerak gerik atau apa pun yang dimunculkan individu ke permukaan, selalu dikontrol, diproduksi atau dibangkitkan oleh otak. "Begitu juga dengan sensory defensiveness," jelas dokter ahli syaraf dari Bagian Neurologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
BACA JUGA: Waspada Ancaman Penyakit Mematikan Karena Banjir, Leptospirosis
Hal senada diungkap pula oleh Jan Sudir Purba MD, Ph.D dari Neuroendokrinologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Menurutnya, otak manusia sangat istimewa, melebihi perangkat canggih apa pun yang ada di dunia.
"Hal-hal sederhana yang bisa ditemukan kapan saja dan di mana pun, bisa menjadi sebuah software bagi otak. Termasuk dalam hal ini stimulasi berupa pengalaman, pembelajaran, maupun asupan gizi. Nah, apa yang ditangkap anak inilah yang akan diolah otak dan disimpan dalam memorinya. Salah satunya ya dalam bentuk sensory defensiveness."
Defensiveness, lanjut Jan, muncul jika yang dihadapi si anak tercatat negatif dalam memorinya. Contohnya, seorang anak yang "menginstal" nasi sebagai sesuatu yang selalu dimuntahkan karena tidak membuatnya nyaman.
Hal tersebut terjadi mungkin karena ia pernah makan nasi basi dan akhirnya sakit. Kemungkinan lain, ia mendapat kesan yang buruk terhadap nasi karena dulu kerap dipaksa makan nasi saat ia tidak mau.
Tak heran kalau si anak akhirnya memunculkan penolakan terhadap nasi. Wujudnya bisa macam-macam, seperti muntah setiap melihat atau makan nasi, menganggap nasi sebagai makanan tidak enak, menyebalkan dan harus dijauhi.
Menurut Adre, munculnya defensiveness bisa juga dipengaruhi oleh informasi atau stimulus yang didapat anak. Adre mencontohkan, "Jangan main sendirian di tempat gelap nanti digondol setan." Atau "Spageti itu ternyata enggak enak. Penampilannya aneh, mirip eek dikerubutin cacing."
BACA JUGA: Mana yang Merupakan Keluarga Asli? Jawabannya Menunjukkan Sosok Moms
Sekalipun anak belum pernah menjumpai atau melihat setan dan spageti seperti apa, tapi karena sudah mendapat masukan seperti itu, saat berada di sebuah ruang gelap ia akan langsung mengasosiasikannya dengan setan. Begitu juga saat anak disuguhi spageti, "Ih, jijik, huek..."
Tak hanya itu saja, pertahanan diri juga bisa muncul karena anak belum mengenali sesuatu yang ditemuinya. Bahasa lainnya, otak anak belum ter-install mengenai sesuatu yang sedang dihadapinya.
MELINDUNGI DIRI
Pada dasarnya, sensory defensiveness merupakan anugerah dari Tuhan yang berfungsi untuk melindungi diri.
Manusia baru bisa dibilang tidak normal jika kerja otaknya tidak beres atau malah sama sekali tidak bekerja. Selain itu, tukas Adre, tanpa sensory defensiveness bagaimana seseorang akan hidup?
Soalnya, tanpa sensory defensiveness, anak tidak tahu siapa dan apa yang harus dia hindari. Anak pun tidak bisa memproteksi diri dari hal-hal yang bisa merugikan/membahayakannya.
Anak-anak yang mempunyai sensory defensiveness, menurut Jan, termasuk dalam kelompok eksperimental. Mereka ini cenderung perfeksionis. Artinya, mereka hanya mau menghadapi dan melakukan apa yang disukainya saja dan apa yang dia yakini baik untuknya.
BACA JUGA: Mana yang Merupakan Keluarga Asli? Jawabannya Menunjukkan Sosok Moms
Di luar itu, jangan harap mereka bersedia melakukannya, apalagi dengan hasil optimal. Ciri-ciri mereka antara lain pendiam, tidak banyak bicara, serius, cenderung selalu hati-hati dalam bertindak dan menghadapi sesuatu.
Konkretnya, sebelum melakukan atau menghadapi sesuatu, anak-anak seperti ini merasa perlu menguasai medannya lebih dulu. Tidak heran mereka jadi kurang gaul, aktivitas sosialisasinya relatif terbatas, teman mainnya pun hanya itu-itu saja alias sedikit, susah dekat dengan orang lain selain kedua orang tuanya.
Meskipun begitu mereka sangat loyal dan terbuka pada teman-temannya yang terbatas. Juga konsekuen terhadap apa yang dia lakukan, putuskan, atau ucapkan.
Sebaliknya, yang tidak termasuk dalam kelompok eksperimental adalah mereka yang memiliki keluwesan. Yang seperti ini biasanya cenderung lebih bisa menerima segala hal, tidak anti atau kelewat fanatik pada hal tertentu, dan tidak mempunyai banyak kekhawatiran menghadapi apa pun.
Mereka pun tidak mudah jera sekalipun sudah bolak-balik mengalami kegagalan atau ketidaknyamanan dari apa yang dia lakukan/hadapi.
Boleh dibilang, lanjut Jan, "Anak seperti ini kaya pengalaman dan orangnya easy going serta selalu ingin mencoba. Mereka bisa dikenali dari cirinya yang mudah bergaul dengan siapa saja, hobi mencoba-coba, tidak takut menghadapi kegagalan atau sesuatu yang tidak membuatnya nyaman dan aman.
Kalaupun gagal, ia akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran berharga yang membuatnya jadi lebih cakap.
Yang harus kita khawatirkan justru anak-anak yang defensiveness-nya rendah dengan ciri-ciri kelewat cuek atau yang pertahanan dirinya relatif rendah. Sebab "Kadar" sensory defensiveness yang tipis ini juga bisa membahayakan si anak.
BACA JUGA: Viral, Penggunaan Kertas Nasi Untuk Membuat Makanan Jadi Crunchy!
Hal ini dapat terlihat pada anak yang cuma bermodal nekat. Mengapa? Karena mereka sering kali tidak berpikir secara rasional dan kerap mengabaikan keamanan diri maupun lingkungannya saat bertindak.
Adre dan Jan sepakat agar orang tua juga memfokuskan perhatian mereka pada anak-anak dengan sensory defensiveness yang terlalu dominan.
Alasannya, jika dibiarkan anak-anak seperti itu akan mengalami hambatan bersosialisasi, tidak siap jika harus berada di situasi dan kondisi baru, tidak bisa menerima perubahan mendadak, terlalu menggantungkan diri pada orang lain, tak memiliki banyak teman, terlalu cepat memasukkan segala sesuatu ke dalam hati, tertutup pada orang atau hal baru, selalu takut mencoba karena takut gagal, dan gampang stres.
Serunya Kegiatan Peluncuran SoKlin Liquid Nature French Lilac di Rumah Atsiri Indonesia
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR