7 Kesalahan Dalam Mendisiplinkan Anak. Nomer 3 Paling Sering Dilakukan

By Soesanti Harini Hartono, Senin, 19 Februari 2018 | 09:25 WIB
Anak-anak belajar dari disiplin dari contoh dan perilaku yang ditunjukkan orangtuanya. Maka diperlukan sikap konsisten. ()

Nakita.id.- Sejak bayi, Si Kecil sudah dapat diajarkan dengan aturan dan disiplin.

Di usia bayi misalnya, Moms melatih disiplin lewat kegiatan rutin seperti mandi, makan, bermain, dan tidur di tepat waktu.

Di usia batita dan balita, di sinilah biasanya tantangannya muncul akibat Si Kecil semakin pintar sehingga bisa menolak apa yang tidak diinginkannya.

BACA JUGA: Harus Dicoba! Teh, Serai, Jeruk Nipis Ampuh Luruhkan Lemak Perut

Meski begitu, disiplin tetap harus diajarkan dan diterapkan. Sebab disiplin membantu Si Kecil mengatur waktunya dengan baik.

Selain itu, banyak penelitian menyebutkan, anak yang terbiasa disiplin sejak kecil merupakan calon pribadi sukses di kemudian hari.

Tak dipungkiri, dalam penerapannya, Moms dan Dads butuh perjuangan sendiri untuk mendisiplinkan si Kecil.

Terkadang Si Kecil tetap melawan, seolah kebal terhadap apa yang diinginkan dan dikatakan orangtua.

Jangan marah dulu, Moms dan Dads. Coba cek dengan kepala dingin. Jangan-jangan penerapannya salah.

Lijeng Ranooe, Profesor Perilaku dan Guru Besar Psikologi Anak dari Universitas Negeri San Diego di Amerika Serikat menemukan 7 kesalahan dalam mendisiplinkan anak.

Kalau Moms dan Dads sudah terlanjur melakukannya, jangan khawatir, Ranooe juga memberikan petunjuk cara membetulkannya.

Inilah daftar kesalahan mendisiplinkan anak. Segera perbaiki ya, Moms dan Dads agar Si Kecil menjadi anak yang disiplin tanpa "ribut-ribut" dengan orangtuanya;

1. Hanya melihat sisi negatif anak

Jika orangtua terus-menerus mengatakan kepada anak apa yang seharusnya tidak mereka lakukan, mereka menjadi kebal terhadap kata 'tidak'.

Segera perbaiki, minta anak melakukan perilaku yang diharapkan dari Moms dan Dads. 

Katakan pada Si Kecil apa yang seharusnya dia lakukan dan berikan penghargaan berupa kata-kata yang menggembirakan saat dia berhasil melakukannya.

2. Menetapkan harapan yang tinggi

Merasa frustrasi Si Kecil tidak berperilaku sesuai harapan, apalagi di tempat umum? 

Ingat Moms dan Dads, anak-anak tidak sempurna dan terkadang mereka masih harus belajar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Solusinya, jangan berteriak padanya, tapi ajari bagaimana seharusnya Si Kecil  bersikap.

Jadilah panutan bagi anak karena di usia balita, anak-anak senang meniru apa yang dilakukan orangtuanya.

Jangan bosan untuk terus menjadi contoh baik bagi anak sekaligus rajin mengingatkan anak tentang bagaimana bertindak dalam situasi sosial tertentu.

BACA JUGA: Jangan Baper Jadi Stay-at-Home Moms. Lihat, Banyak Keunggulannya!

3. Memberi contoh perilaku yang salah

Moms melarang anak-anak berteriak jika meminta sesuatu padahal Moms sendiri sering berteriak kepada asisten rumah tangga.

Nah, orangtua  sering bereaksi terhadap situasi tertentu dengan cara yang tidak ideal.

Jika Moms dan Dads kerap berteriak di rumah, tak heran Si Kecil akan berteriak juga jika mengutarakan keinginannya.

Maka untuk memperbaikinya, jadilah contoh  yang baik.  Ingat, anak-anak seperti spons - mereka menyerap semuanya.

Jika orangtua "terpeleset" bereaksi tidak tepat terutama di depan anak, perbaiki diri segera, dan jelaskan kepada anak mengapa hal itu salah.

4. Sering memberikan "ancaman" kosong

Moms dan Dads membuat ancaman kosong terhadap perilaku buruk anak. Ini kata lain tidak konsekuen antara kata dan tindakan.

Misalnya waktunya mandi, ketika anak menolak karena masih ingin bermain, diiyakan oleh Moms, daripada anak menangis atau tantrum. 

Karena tidak ada konsekuensi, anak sering kali melampaui batas karena mereka tahu, mereka tidak akan pernah menerima "hukuman".

Ranooe meminta orangtua bersikap konsekuen bila ingin anaknya disiplin. "Segera terapkan standar mana yang boleh mana yang tidak boleh dilakukan. Jangan menerapkan standar ganda."

Jelaskan bahwa tidak ada pilihan bagi anak selain bekerja sama.

5. Menerapkan time-out yang tidak efektif

Orangtua menggunakan time-out (biasanya anak diminta duduk di pojok atau di kamar, lalu didiamkan sejenak) sebagai bentuk hukuman tanpa penjelasan mengapa si anak bersalah.

Jika ini terus dilakukan, Ranooe mengatakan waktu orangtua habis hanya untuk menenangkan anak-anak padahal perilaku yang ingin dibetulkan tidak berubah dan anak-anak tidak akan tahu mengapa mereka bersalah.

Alih-alih sedikit-sedikit menerapkan time-out, lebih baik menjelaskan kepada anak bahwa dia perlu tenang dulu (duduk sekian menit di pojok) sampai dia dapat berperilaku baik, dan selanjutnya, perilaku apa yang diharapkan.

BACA JUGA: 5 Manfaat Bawang Putih bagi Kecantikan, Atasi Masalah Kulit Semalam!

6. Menggunakan teknik disiplin yang sama untuk semua anak 

Tidak ada anak yang sama, jadi menggunakan tindakan/hukuman yang sama untuk semua anak sering kali tidak akan berhasil.

Moms dan Dads perlu mengenali karakteristik setiap anak dan bagaimana mereka bereaksi dalam situasi yang sama. Coba lihat, meski situasinya sama, reaksi dan tindakan setiap anak akan berbeda.

Pada anak yang kalem dan pendiam, time out tidak akan mengubah perilakunya karena memang Si Kecil senang pada lingkungan yang tenang.

Oleh sebab itu, terapkan disiplin dan konsekuensinya menurut usia dan karakteristik setiap anak.

Pelajari berbagai metode pendisiplinan anak, dan perlakukan setiap anak secara berbeda.

7. Berlebihan alias overacting

Moms dan Dads selalu cepat menghentikan Si Kecil bila melakukan sesuatu, terutama jika hal itu tidak sesuai dengan harapan orangtua pada saat itu.

Ingat Moms dan Dads, usia balita dan prasekolah adalah masa eksplorasi. Ini berarti juga masa belajar.

Namanya belajar tentu ada saatnya melakukan kesalahan. Tak usah marah dan panik.

Sepanjang keamanannya tidak menjadi masalah, beri dia ruang untuk menjadi anak-anak. Moms dan Dads juga bisa beristirahat, tak sedikit-sedikit ngomel atau waswas. (*)