Jangan Sampai Terulang, Seorang Anak Harus Terima Nasib Kematian Ayahnya Akibat Percaya Hoax Covid-19 'Jadi Salah Satu Penyesalan Saya'

By Gabriela Stefani, Rabu, 21 Juli 2021 | 15:18 WIB
hoax covid (Pixabay)

Nakita.id - Hoax seputar covid-19 memang marak terjadi di tengah pandemi ini.

Di tengah tenaga kesehatan yang sedang berjuang membantu rakyat melawan virus corona, ada ulah orang tak bertanggung jawab yang menyebarkan hoax.

Alhasil banyak orang yang memercayainya hingga ada yang tidak percaya dengan penyakit yang sudah merengut banyak nyawa masyarakat dunia.

Bahkan ada yang menuduh bahwa tenaga kesehatan 'mengcovid' kan pasien.

Baca Juga: Wajib Jadi Pelajaran Untuk Kita Semua, Bayi Baru Lahir Meninggal Dunia Akibat Covid-19 Usai Dijenguk Keluarga Besarnya

Dan akibat hoax yang beredar luas, seorang pria menceritakan perjuangan ayahnya yang termakan berita bohong di tengah pandemi covid-19.

"Setelah pertarungan beberapa hari, Papa kalah perang melawan Covid-19. Apa yang menyebabkan Papa kalah? Hoax berperan besar dalam hal ini, di luar komorbid."

Kalimat ini memulai sebuah utas yang dibagikan pemilik akun Twitter @HelmiIndraRP. Helmi membagikan utas itu pada 15 Juli 2021.

Kisah yang dibagikan Helmi viral. Apa yang diceritakan Helmi menjadi gambaran bahwa hoaks yang selama ini menyebar seputar Covid-19 bisa berpengaruh sangat besar.

Dan, merenggut nyawa!

Salah satunya, nyawa ayah Helmi yang terinfeksi virus corona dan berpulang pada 14 Juli lalu.

Helmi (kanan), bersama kakak perempuannya (tengah), dan kakak iparnya (kiri), saat mendampingi perawatan ayahnya yang terinfeksi virus corona. Helmi mengatakan, hoaks seputar Covid-19 yang menyebar memengaruhi ayahnya enggan mendapatkan perawatan hingga merenggut nyawanya.

Saat dihubungi Kompas.com, Senin (19/7/2021), Helmi berbagi kisahnya.

Helmi mengungkapkan, ayahnya, Nuryaman (60), yang tinggal di Tegal, Jawa Tengah, mulai merasakan gejala awal infeksi Covid-19 pada Selasa (6/7/2021).

Menurut Helmi, ketika itu ayahnya mengeluhkan pusing.

"Kan Papa ada diabetes, jadi kami mengiranya efek dari gulanya lagi tinggi," kata Helmi saat dihubungi Kompas.com, Senin (19/7/2021).

Keesokan harinya, pusing yang dikeluhkan sang ayah tak kunjung reda, tetapi gejala yang dikeluhkan justru bertambah.

Ketika itu, Helmi yang tinggal di Depok, Jawa Barat, dan kakaknya yang tinggal di Tegal, mulai curiga bahwa ayahnya terinfeksi Covid-19.

Kakak-beradik itu pun membujuk sang ayah agar mau menjalani tes swab, untuk memastikan sakit yang diderita adalah Covid-19 atau bukan.

Baca Juga: Tolong Jangan Senang Dulu dengan Kasus Covid-19 yang Menurun Beberapa Hari Belakangan, Ini yang Sebenarnya Terjadi Menurut Ahli

Namun sang ayah menolak, dengan alasan dua hari sebelumnya sudah dites swab antigen dan hasilnya non-reaktif.

Akhirnya, kakak Helmi yang punya kenalan dokter meminta rekomendasi obat-obatan untuk merawat sang ayah di rumah.

Helmi mengatakan, pada Sabtu (10/7/2021) dan Minggu (11/7/2021), kondisi kesehatan ayahnya kian memburuk. Akan tetapi, ayahnya menolak untuk dibawa ke rumah sakit.

"Kakak sudah bolak-balik ngajak ke rumah sakit, tapi (Papa) takut. Takut dicovidkan, takut nanti malah tambah kenapa-kenapa," ujar Helmi.

Akhirnya, kakak Helmi berinisiatif untuk memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kondisi kesehatan ayahnya.

"Sekalian biar bisa dikasih penjelasan sama dikasih vitamin booster sama diinfus dulu. Karena Papa kan makannya juga tambah susah. Minum obat juga cuma pereda nyerinya aja," kata Helmi.

Helmi mengatakan, selama menjalani perawatan di rumah, keluarga selalu memantau saturasi oksigen sang ayah.

Ia mengungkapkan, pada Senin (12/7/2021) hingga Selasa (13/7/2021), saturasi oksigen ayahnya terus menurun.

Akan tetapi, kelangkaan oksigen membuat Helmi dan saudara-saudaranya sempat kesulitan mendapatkan tabung oksigen untuk ayahnya.

Mereka akhirnya bisa mendapatkan tabung oksigen untuk sang ayah pada Selasa (13/7/2021) sekitar pukul 20.30 WIB.

"Akhirnya Papa bisa dioksigen (pakai) tabung kecil yang 8 liter," kata Helmi.

Sekitar pukul 23.30 WIB pada hari yang sama, oksigen 8 liter yang digunakan sang ayah sudah habis terpakai.

"Papa bilang, 'Kok susah napas lagi ya'. Terus cek saturasi ternyata sudah di 40," kata Helmi.

Karena tak mungkin lagi mengisi tabung oksigen di tengah malam, kakak Helmi akhirnya membawa sang ayah ke salah satu rumah sakit di Tegal.

Baca Juga: Satu Indonesia Wajib Tahu Kenyataannya, Khasiat Vitamin D Ternyata Hampir Menyamai Vaksin Covid-19, Begini Kata Ahli

Pada Rabu (14/7/2021) dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, ayah Helmi akhirnya masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).

"Dikasih oksigen, mulai membaik saturasinya. Mulai naik, walaupun belum kembali ke normal, paling enggak sudah lebih enak lah. Sudah bisa bernapas," ujar Helmi.

Selang beberapa jam kemudian, pukul 11.00 WIB pada hari yang sama, sang ayah akhirnya masuk ke ruang isolasi untuk pasien Covid-19.

"Jam setengah satu itu (Papa) masih teleponan sama kakak saya. (Kakak) kasih semangat untuk makan dan minum obat," kata Helmi.

Namun, pukul 13.15 WIB, pihak rumah sakit mengabarkan ke keluarga Helmi bahwa sang ayah mengalami perburukan kondisi.

"Kakak langsung nyamperin ke rumah sakit. Nah ketika telepon (dari rumah sakit) itu maksudnya adalah kondisi sudah dicoba bantu, ditekan dadanya, pertolongan pertama, karena waktu itu napas sudah enggak ada," kata Helmi.

Pada Rabu (14/7/2021) pukul 14.00 WIB, Helmi menerima telepon dari kakaknya, mengabarkan bahwa sang ayah sudah meninggal dunia.

Helmi mengatakan, sejak awal ayahnya sebenarnya percaya dengan adanya virus corona SARS-CoV-2 dan memahami bahwa saat ini tengah terjadi pandemi Covid-19 di berbagai negara.

Akan tetapi, sebaran hoaks yang masif, terutama sejak rencana vaksinasi nasional mulai digulirkan pemerintah, membuat sang ayah akhirnya terpapar informasi menyesatkan.

Menurut Helmi, informasi-informasi sesat, seperti vaksin Covid-19 terbuat dari babi, dan tudingan bahwa vaksin berbahaya, membuat sang ayah takut dan akhirnya menolak untuk divaksin.

Belum lagi hoaks tentang interaksi obat yang diklaim memperburuk kondisi pasien Covid-19 dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Menurut Helmi, hal ini menyebabkan ayahnya takut minum obat dan takut dirawat di rumah sakit.

Baca Juga: Kapan Anak Usia di Bawah 12 Tahun Bisa Dapat Vaksin Covid-19? Kemenkes Beri Jawabannya

Helmi mengungkapkan, pengalaman pahit yang ia alami dan rasakan ini membuatnya sadar terhadap bahaya dari informasi yang menyesatkan.

"Kalau dari yang saya rasakan, literasi digital itu ternyata harus ada. Kalau bahasa Islamnya kan memang kita harus ber-tabayyun terhadap semua informasi kan. Mencari informasi yang benar, meng-cross check semua berita, enggak cuma percaya dari satu saja, tapi yang perlu kita cek kan kajian ilmiahnya juga seperti apa," kata Helmi.

Tak hanya itu, Helmi juga berpesan kepada semua orang di luar sana agar tidak mudah menyerah ketika mengedukasi orang tua dengan informasi yang benar, terutama yang berkaitan dengan Covid-19.

"Jangan putus semangat untuk ngingetin orangtua. Itu yang jadi salah satu penyesalan saya sebenarnya. Kok enggak setiap hari diingetin terus, minimal untuk vaksin lah," kata Helmi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Helmi, Hoaks Covid-19 yang Merenggut Nyawa Papaku..."