Mengenal Periode Kritis Bahasa Pada Anak Usia 1-3 Tahun

By Ipoel , Selasa, 19 Maret 2013 | 05:00 WIB
Kenali periode kritis bahasa pada anak yang terutama berlangsung pada usia 1-3 tahun. (Pixabay)

Contoh, anak menyebut “bil” sambil menunjukkan mainan mobil-mobilan.

Meski tidak sempurna, ia berarti sudah dapat mengucapkan kata tersebut dan memahami artinya.

Kata pertama yang diucapkan anak tentunya berbeda, bergantung pada stimulasi yang diterimanya.

Semakin usianya bertambah, semakin banyak yang dipelajari anak karena eksplorasinya juga semakin luas dan beragam.

Di usia 16-24 bulan, kosakatanya berkembang pesat dari sekitar 50 kata melonjak hingga 400 kata per harinya.

Hal ini disebut dengan naming explotion.

Semua ini mungkin terjadi karena anak sebelumnya menerima bahasa reseptif dan sudah memiliki informasi tersebut dalam memorinya.

Ketika secara kognitif dan alat wicaranya mengalami kematangan, barulah kosakata tersebut diekspresikannya.

Pada usia batita pula sering kali ditemui “kesalahan” berupa overextended cover extention dalam bahasa anak.

Contohnya, karena ia pernah mendapat informasi bahwa hewan yang bisa terbang disebut burung, lantas kupu-kupu pun ia sebut burung karena bisa terbang.  

Di usia 24 bulan ke atas, anak mulai dapat membuat kalimat yang terdiri atas dua kata meski dengan tata bahasa yang belum beraturan. Contoh, “Adek bobok” atau “Mama makan.”

Di usia 36 bulan atau 3 tahunan, perkembangan bahasa anak meningkat dengan kemampuan membuat kalimat lengkap yang mengandung unsur subjek, predikat, objek/keterangan meski terkadang belum lengkap seperti, “Tulis tulis kertas.”

Perkembangan bahasa di usia ini tampak signifikan dengan semakin banyaknya kosakata yang dikuasai dan keluwesan anak berbicara.

Biasanya anak baru bisa merangkai kata dengan baik di atas 3 tahunan.

Demikianlah orangtua harus mengenali periode kritis bahasa pada anak yang terutama terjadi pada usia 1-3 tahun.