Biaya Nikah, Keintiman, dan Terkekang Jadi Sumber Masalah Pernikahan yang Tak Selalu Membawa Kebahagiaan

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Kamis, 13 September 2018 | 18:00 WIB
Ilustrasi pasangan menikah yang bahagia (iStock)

Nakita.id - Banyak pasangan berpikir bahwa dengan menikah, kebahagiaannya akan bertambah dengan kehadiran pelengkap hidupnya.

Ungkapan tersebut seolah menjadi angin segar bagi calon pasangan yang tak lama lagi akan membina hubungan rumah tangga dengan kekasih yang ia damba-dambakan selama ini.

Bahkan banyak yang percaya bahwa pernikahan akan membuka jalan baru bagi keberuntungan setiap pasangan, mulai dari finansial, hingga kebahagiaan lainnya.

Tetapi apakah hal tersebut benar-benar terjadi dan juga terbukti bagi semua pasangan di dunia yang sudah memutuskan untuk menikah?

Rasanya, hal itu tak selalu benar.

Begini, banyak awal pernikahan akan menjadi indah bagi tiap pasangan.

Membayangkan bahwa sebentar lagi di bangun dan tidurnya ditemani oleh pasangan.

Membayangkan meja makan terisi dua orang dan bahkan beberapa buah hati lahir dari darah kita, tentu akan sangat membahagiakan.

Tetapi langkah menuju pernikahan tak selalu tentang kebahagiaan.

Banyak pasangan yang harus berkorban demi terselenggaranya pernikahan.

Bahkan, banyak yang rela banting tulang, kerja keras, kerja lembur, biasanya bagi laki-laki untuk memberi pernikahan terbaik bagi pasangannya.

Seperti kisah salah satu perempuan yang ditulis di New York Times.

Ia merupakan ibu rumah tangga, sedangkan suaminya bekerja menjadi dokter yang pendapatannya tak sebesar dokter lain di wilayahnya.

Awal pernikahan mereka berdua, mereka harus hidup dengan menekan anggaran belanja bahkan biaya pengeluaran rumah tangga.

Setelah sebelumnya, keduanya tak pernah memikirkan bagaimana susahnya hidup dengan memangkas finansial yang biasanya dengan bebas ia dapat kelola.

Hal itu karena biaya pernikahan mereka ternyata membengkak.

Biaya pernikahannya justru jauh dari anggaran yang ditentukan, baik dari keluarga mempelai perempuan maupun mempelai laki-laki.

Sehingga mau tak mau, di usia awal pernikahannya, ssatu sama lain harus berhemat atau sangat amat berhemat.

Belum lagi, sang perempuan yang hanya merupakan ibu rumah tangga, tak lama setelah melangsungkan pernikahan kemudian hamil.

Berbagai persiapan mulai dari periksa hingga peralatan calon bayi perlu disiapkan.

Bukan harga yang murah tentunya, mengingat makin melonjaknya harga-harga kebutuhan setiap harinya, menyesuaikan adanya perkembangan dan juga kurs.

Dari kisah tersebut, Relevant Magazine mengungkapkan bahwa semua pernikahan tak selalu merugikan, tetapi juga tak selalu membawa kebahagiaan.

Baca Juga : Ketidakpuasan Seksual Berujung Perceraian Hingga Pembunuhan Pasangan, Ini Ragam Fenomena Masalah Perceraian

Biaya Acara Pernikahan

Menurut data statistik yang dicatat, rata-rata pasangan akan mengamburkan banyak biaya saat menikah.

Mulai dari persiapan hingga babak final acara pernikahan.

Tak jarang, mereka kan melakukan usaha bahkan meminjam uang kepada pihak lain yang memiliki harta lebih, atau meminjam pada sebuah bursa peminjaman uang untuk menutup semua kebutuhan pernikahan.

Yang dilakukan pasangan tersebut terbentuk atas nama gengsi yang tinggi.

Mereka yang memandang bila pernikahan yang hakikatnya hanya terjadi sekali dalam seumur hidup berpikir bahwa pernikahan juga harus dilaksanakan secara mewah, meriah dan terkesan, dengan menggunakan berbagai cara yang akhirnya membuat keuangannya merosot.

Hal ini sudah menjadi rahasia umum, apalagi di Indonesia.

Makin banyaknya hotel dan gedung-gedung mewah, tempat resepsi pernikahan sudah diantre bahkan satu tahun sebelumnya.

Mereka memasang harga yang tak murah.

Mulai dari jutaan hingga ratusan juta rupiah dalam satu acara. Mungkin ada juga yang memasang tarif berdasarkan berapa lama waktu sewanya.

Belum lagi beragamnya pilihan mulai dari undangan, katering, penata rias, penata busana, dokumentasi dan masih banyak lagi perlengkapan dan kebutuhan pernikahan zaman now!

Hal ini seolah sudah menjadi kebiasaan dan adat yang sebenarnya tak dianjurkan.

Bagaimana tidak, mereka harus bersusah payah mengumpulkan ratusan juta rupiah bahkan miliaran untuk menikah yang acaranya hanya akan berlangsung beberapa jam.

Mereka rela melakukan hal tersebut agar pernikahannya terkesan dan juga sentil-sentil yang terdengar, mereka juga senang apabila dipuji para tamu dengan berbagai fasilitas yang disiapkan di pesta pernikahannya.

Dan tak banyak orang tahu, bahwa biaya dan juga dampak tersebut anya merupakan biaya resepsi pernikahan.

Belum termasuk biaya nyata pernikahan yang bisa dibilang jauh lebih berat.

Lalu apakah biaya nyata pernikahan tersebut?

Baca Juga : Jonatan Christie Gagal di Japan Open 2018 Setelah Jadi Idola di Indonesia, Ini yang Dikatakannya!

Biaya Nyata Pernikahan

Biaya nyata pernikahan merupakan biaya yang harus dikeluarkan atau dianggarkan, setelah pasangan resmi menjadi suami-istri, baik yang masih ikut dengan orangtua, atau sudah mempu berdikari dan berumah tangga sendiri.

Tentu biaya ini yang nantinya akan sangat menjadi tanggung jawab seorang laki-laki yang merupakan kepala rumah tangga.

Bahkan tak jarang, hal ini yang menjadi beban bagi pasangan saat menjalani biduk rumah tangga.

Sehingga wajar bila dikatakan biaya nyata pernikahan jauh lebih membebani dibandingkan biaya pesta pernikahan yang berlangsung dalam beberapa jam saja.

Dan besarnya juga bebannya biaya nyata pernikahan akan dimulai dari bagaimana pasangan memilih dan menganggarkan biaya acara pernikahan.

Bila banyak yang rela berhutang kesana-kemari demi mendapatkan acara pernikahan yang terbaik, bukan tidak mungkin, akan kelabakan pula saat sudah membina rumah tangga bersama.

Meski banyak yang akhirnya mampu berdiri, membangun rumah tangga dengan meminimalisasi berbagai beban dalam rumah tangganya, banyak pula yang masih menemukan jalan keluar hingga babak akhir pernikahan.

Dan tak jarang bagi yang tidak mampu menahan beban tersebut memilih melayangkan gugatan cerai.

Fenomena tersebut harusnya bisa menajdi refleksi diri bagi tiap pasangan baik yang sudah berumah tangga, maupun belum berumah tangga.

Bagaimana pasangan mempersiapkan serta mengambil keputusan untuk memilih dan menentukan anggaran pesta pernikahannya menjadi acuan bagaimana pasangan mengambil sikapnya saat sudah berumah tangga.

Banyak yang berpikir bahwa materi bisa dicari saat sudah berumah tangga, bukanlah pemikiran yang salah.

Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa kehidupan rumah tangga seharusnya memang sudah dipikirkan secara masak tanpa merugikan pihak manapun.

Rasa Terkekang

Menikah bukanlah tentang satu orang yang mencapai kebahagiaan dan membina rumah tangga serta melahirkan anak yang lucu-lucu.

Tetapi menikah adalah tentang bagaimana kedua pasangan membentuk sebuah komitmen dengan memegang teguh pendirian serta memikirkan kebahagiaan pasangan juga masa depan.

Karena mau tak mau, saat pasangan memutuskan untuk menikah.

Mereka juga harus mengorbankan segala waktu dan juga tenaga serta masa depannya untuk suami atau istrinya.

Seperti yang Moms kini alami.

Memutuskan menikah, artinya Moms harus siap dengan segala kesibukan sebagai orangtua bagi Si Kecil, juga seorang istri.

Baca Juga : Fenomena Pernikahan di Bawah Umur Berisiko Kematian di Usia Belia dan Berbagai Dampak Lainnya, Bagaimana Pencegahannya?

Ini merupakan tanggung jawab yang tak bisa dilepaskan satu sama lain dan tak bisa juga diabaikan.

Kedua tugas tersebut memang terlihat berat, namun akan jadi lebih ringan, apabila pasangan memilih untuk menjalankan tugas bersama-sama dan tidak membebankan tugas pada salah satu pihak.

Hasilnya, tugas yang tak dikerjakan bersama-sama dan hanya dibebankan pada salah satu pihak akan membuat munculnya rasa tertekan dan juga terenggutnya kebebasan pasangan sehingga merasa terkekang

Lalu apa hubungannya dengan kebahagiaan?

Apakah Menikah Selalu Bahagia?

Bagaimana seseorang menjawab pertanyaan ini adalah bagaimana mereka memiliki pemikiran dengan keputusan yang mereka ambil.

Bila kebahagiaan seorang lajang sebatas bisa mendapat uang, kemudian membeli banyak barang yang ia inginkan.

Pernikahan justru kontras dengan hal tersebut.

Jika seorang perempuan dan laki-laki sudah menikah, kebahagiaan mereka bukanlah ada di saat mereka bisa membelikan dan juga membahagiakan dirinya sendiri, tetapi bagaimana ia mampu membahagiakan pasangannya dan memenuhi kebutuhan pasangannya.

Misalnya saat suaminya bekerja hingga malam hari, kemudian pulang tetapi di rumah tak tersedia makanan kemudian marah karena lapar.

Itu bukan kebahagiaan dan kepuasan pribadi.

Kebahagiaan yang hakiki baginya, adalah ketika ia pulang dalam keadaan lapar namun istrinya belum menyiapkan makan, ia memiliki kewajiban untuk menawarkan istri membantu memasak atau mengajaknya makan di luar rumah.

Hal ini terlihat sulit, terlebih membayangkan betapa lelahnya suami bekerja pagi hingga malam, tetapi harus mengalah untuk mengajak istrinya makan meskipun tak disiapkan.

Hati istri merupakan kebahagiaan hakiki bagi pasangannya.

Tetapi bukan berarti dalam fenomena tersebut, istri dianggap benar.

Sudah menjadi kewajibannya melayani sang suami dalam suka maupun duka.

Baca Juga : Mau Rumah Sejuk Tanpa Perlu AC? Taruh Deretan Tanaman Ini di Rumah!

Istri harus selalu ada saat sang suami membutuhkannya, meskipun tanpa diminta.

Terlebih bila istri melihat suaminya lelah karena bekerja, ia harusnya membantu untuk menghilangkan lelah dan letih sang suami.

Selain menyiapkan makanan, istri memiliki kewajiban membuat suami nyaman.

Baik secara fisik maupun seks.

Banyak kisah membuktikan bahwa semakin lama suami istri di usia pernikahannya, mereka akan memiliki fase letih dan bosan dalam berhubungan seksual.

Bila salah satu sedang melewati fase tersebut, bukan berarti pasangannya membiarkan begitu saja. Mereka harus berputar otak memberi pasangan pelayanan yang terbaik, mulai dari mencoba berbagai variasi baru, demi tetap terjaganya keintiman mereka.

Bahkan bila ada di pihak yang mengalami fase tersebut, suami atau istri tak boleh serta merta egois dan tak ingin melayani atau dilayani dengan berbagai alasan.

Pasangan akan merasa kecewa dan ini akan berakhir dengan hilangnya rasa cinta dan juga kebahagiaan dalam berumah tangga.

Dan tentang kesetiaan.

Pasangan yang merasa pasangannya loyal, dalam arti setia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar.

Seperti ungkapan Daniel Molden, asisten profesor di Northwestern University.

'Dengan kata lain, perasaan dicintai dan didukung yang digunakan orang untuk menilai siapa yang membuat pasangan bahagia dan dapat dipercaya merupakan sebagian emosi untuk menentukan kepuasan dalam sebuah pernikahan'.

Dalam ujarannya tersebut, Psychological Science menjelaskan bahwa rinci bagaimana maraknya fenomena perselingkuhan dan rasa mengabaikan bagi pasangan suami istri.

Mungkin orang dewasa yang sudah memasuki jenjang pernikahan masih memiliki gagasan yang salah pada rasa kesetiaan.

Banyak yang berpikir bahwa pasangan dituntut setia, sekalipun pasangan sudah melakukannya dengan baik.

Baca Juga : Wah! Ternyata Garam Ampuh Atasi Masalah Kecantikan, Yuk Langsung Coba!

Peran Kesetiaan

Bagaimana kesetiaan memainkan peran dari rumah tangga?

Menurut penelitian yang diterbitkan Timothy Keiningham dan Lerzan Aksoy, mengatakan bahwa orang-orang yang menghargai kesetiaan pada pasangan, keluarga dan teman-teman mereka akan memiliki kebahagiaan yang jauh lebih baik dan lebih puas, dibandingkan mereka yang hanya menikmati waktu dan menghabiskan waktu untuk sibuk dengan aktivitasnya sendiri.

Dalam penelitiannya, kesetiaan tak hanya sekadar bagaimana seseorang menjaga hatinya demi pasangan, tetapi juga bagaimana seseorang memiliki prioritas dan pilihan untuk dirinya sendiri dan pasangan.

Pada dasarnya, pasangan setia adalah pasangan yang benar-benar memenuhi janjinya saat menikah, hingga takdir memisahkan.

Pasangan memang dituntut untuk melakukan hal itu semata-mata bukan tanpa alasan.

Karena bahagia dalam hubungan rumah tangga bukan hanya tentang bagaimana istri mendapat nafkah yang berkecukupan atau bagaimana suami mampu mendapat banyak uang dari pekerjaannya.

Tetapi bagaimana suami mampu memberi yang terbaik untuk sang istri, sekalipun dalam keadaan terdesak.

Dan berbagai indikasi tersebut seperti mata rantai yang tak bisa dipisahkan.

Pernikahan merupakan pilihan berat bagi pasangan, menyangkut hidup dan mati seseorang.

Bagaimana kedua pasangan mampu berkorban satu sama lain dan menyingkirkan ego pribadi demi membahagiakan pasangannya.

Kebahagaiaan pernikahan bukan hanya bagaimana cara memaafkan saat salah satu membuat kesalahan.

Bukan juga bagaimana cara mereka memberi waktu terbaik bagi pasangannya sekalipun dirinya juga lelah.

Bukan juga tentang bagaimana kesetiaan mereka berpuluh-puluh tahun dipertahankan.

Juga bukan tentang bagaimana memberi hadiah terbaik untuk suami dengan cara mengumpulkan uang selama berbulan-bulan.

Baca Juga : Ini 7 Resep Sederhana Pernikahan Bahagia, Moms Sudah Melakukannya?

Bahkan bukan juga bagaimana caranya memberikan seks terbaik bagi pasangannya agar lebih intim.

Tetapi tentang bagaimana semuanya bisa dikerjakan dan juga dilaksanakan tanpa rasa keterpaksaan.

Bagaimana semua tugas suami atau istri dijalankan sesuai kodratnya.

Memilih berbahagia dengan mengabaikan rasa lelah yang bisa mengakibatkan memuncaknya emosi.

Juga tentang menawarkan pundak serta telinga saat pasangan melasa letih.

Dan tentang meletakkan kebutuhan pasangan jauh di atas kebutuhan pribadi.

Hal yang sangat sepele dan mudah dilakukan pasangan, yang bisa meminimalisasi angka perceraian yang kian marak.

Sangat sulit dilakukan, tapi harusnya terus dicoba!