Nakita.id - Lembaga Survey Kedai Kopi, Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia, menggelar diskusi publik bertema "Urban Living & Stress Management". Topik ini diangkat sejalan dengan tingginya tingkat stres yang terjadi di masyarakat perkotaan. Menurut Hendri Satrio, Founder Lembaga Survey Kedai Kopi, tingginya angka stres di masyarakat sejalan dengan semakin bertambahnya populasi masyarakat, khususnya di perkotaan. Sejak tahun 1983 hingga 2009, tingkat stres mengalami peningkatan sebesar 18% pada wanita dan 24% pada pria. Kesimpulan ini ditemukan oleh para peneliti di Carnegie Mellon University di Pittsburgh yang menganalisis data lebih dari 6.300 orang. Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat dan dianggap sebagai yang pertama kali membandingkan tingkat stres.
Penelitian ini dimuat dalam Journal of Applied Social Psychology. Dalam penelitian yang dilakukan pada 1983, 2006, dan 2009 menyebutkan, kelompok yang paling memiliki tingkat stres tinggi adalah wanita, orang dengan pendapatan rendah, dan orang yang kurang berpendidikan. Peneliti juga menemukan, tingkat stres akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Sementara itu, dalam data berbeda United Nations Population Division menyebutkan akan lebih banyak orang yang tinggal di perkotaan daripada pedesaan pada 2050. diperkirakan 2/3 populasi di dunia adalah kaum urban. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada tingkat stres masyarakat.
Pengamat ekonomi INDEF, Imadudin Abdullah mengatakan, ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat memicu stres di masyarakat. Dunia serba modern menuntut setiap orang untuk bisa bertahan hidup dengan biaya tinggi di perkotaan. "Lihat saja harga rumah yang terus melonjak hingga tak dapat dijangkau kaum menengah bawah," ungkapnya. Apalagi, kondisi perekonomian juga cenderung stagnan. Di saat penghasilan kurang memuaskan, tidak dibarengi oleh biaya hidup seperti harga-harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik.
Selain itu, faktor lain yang berpengaruh adalah kemacetan. "Saya mau tanya, berapa menit yang dihabiskan rata-rata oleh kaum pekerja di jakarta, mungkin bisa 3-6 jam, pulang pergi dari rumah ke kantor." Kondisi itu menjadi tekanan tersendiri bagi kaum wanita yang tinggal di perkotaan.
Nah, psikolog Liza Marielly Djaprie mengatakan, berdasarkan penelitian, masyarakat perkotaan menghasilkan skor yang lebih tinggi ketika mereka ditanya dan dianalisa tentang permasalahan mereka yang dapa menimbulkan stres dan kecemasan. Semakin ia tinggal di perkotaan, semakin tinggi aktivitas pACC atau perigenual anterior cingulate cortex. pACC adalah bagian otak yang dapat mengatur tinggi rendahnya tingkat stres yang dialami seseorang. "Masyarakat kota lebih stres karena daya tekan yang tinggi, baik soal perekonomian, lingkungan, maupun sosial. Kompleksitas kehidupan di perkotaan inilah yang mencerminkan tingginya tingkat stres masyarakat," jelasnya.
Penulis | : | Saeful Imam |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR