Nakita.id - Kabar perceraian Gading dan Gisel belakangan ini menggemparkan publik.
Perceraian ini telah resmi tercaatat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 908/Pdt.G/2018/PN.JKT.SEL pada Senin, 19 November 2018.
Baik Gisel dan Gading telah memberikan informasi melalui instagramnya masing-masing, membenarkan keputusan mereka untuk berpisah.
Baca Juga : Gisel Dikabarkan Gugat Cerai Gading, Begini Unggahan Pengasuh Gempita
Kerap mengumbar kemesraan dan tak pernah mengisyaratkan keretakan rumah tangga, pasangan yang telah menikah selama lima tahun ini tiba-tiba memutuskan bercerai.
Warganet pun mengkhawatirkan nasib Gempita, anak semata wayang Gading dan Gisel.
Di usianya yang baru tiga tahun lebih, Gempi harus menghadapi perceraian orangtuanya.
Bahkan beberapa hari lalu, tagar #SaveGempi sempat menjadi trending topic di twitter.
Seperti kita tahu, perceraian orangtua sudah pasti berdampak pada anak, bahkan bisa menjadi trauma.
Menurut psikolog anak Dr. Scott Carroll, jika perceraian terjadi saat anak masih bayi, kemungkinan anak tidak akan mengalami trauma.
"Satu-satunya usia dimana anak tidak merasakan dampak perceraian adalah di bawah 2 tahun." katanya.
Hal ini terkait dengan kemampuan kognitif anak yang berkembang sebelum 3 tahun.
"Anak usia 2 tahun sudah memiliki ingatan, jadi mereka sadar akan perubahan pada tingkat emosional namun sosoknya masih samar." kata Carroll.
Setelah berusia 3 tahun, potensi trauma mencapai puncak sekitar usia 11 tahun.
Pada usia ini, anak-anak mulai memahami pentingnya hubungan orangtua mereka.
Mereka telah menyadari keterikatan yang dalam kepada orangtua dan keluarga sebagai satu kesatuan.
Mereka juga belum memiliki kemandirian dan sangat egosentris.
"Perceraian itu sendiri bukanlah bagian yang tersulit. Bagian tersulit adalah konflik." jelas Carroll.
Baca Juga : Anak Kareena Kapoor Dijadikan Model Boneka dan Diperjualbelikan, Reaksi Sang Ayah Diluar Dugaan
Konflik bisa sangat berdampak buruk jika dilakukan di depan anak-anak.
Lebih buruk lagi adalah ketika orang tua berkomunikasi melalui anak atau menjelekkan mantan pasangan mereka.
Sebelum pubertas, trauma perceraian juga bisa diperparah oleh orang tua yang tidak lagi memerhatikan anaknya.
Perceraian yang menyebabkan kurangnya kontak atau kunjungan yang tidak konsisten dapat menyebabkan seorang anak merasa seolah-olah mereka kehilangan sebagian diri mereka sendiri.
"Hal terburuk bagi anak adalah jika setelah bercerai, orang tua tidak terlibat. Jika Anda ingin melihat seorang anak yang depresi, lihatlah apa yang terjadi ketika orang tua tidak muncul." kata Carroll.
Ia menjelaskan, hal ini sebagian besar terkait dengan kecenderungan egosentris mereka.
Segala sesuatunya berubah saat anak-anak memasuki remaja.
Pubertas membuat anak sedikit memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, serta dorongan kuat untuk mandiri dan tidak begitu terikat dengan keluarga.
"Begitu seorang anak melewati masa pubertas, ada potensi untuk menerima dan memahami perceraian orang tua," Carroll menjelaskan.
Carroll menekankan bahwa anak-anak cukup tangguh, terutama jika mereka sehat secara psikologis sebelum perceraian.
Mungkin butuh waktu satu tahun atau lebih untuk berkabung dan menyesuaikan diri, tetapi kebanyakan anak-anak pada akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan yang harus mereka hadapi.
Baca Juga : Manfaat Makan 6 Siung Bawang Putih Panggang, Pulihkan Tubuh Hanya Dalam 24 Jam!
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Source | : | nakita,fatherly.com |
Penulis | : | Kunthi Kristyani |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR