Nakita.id.- Pada dasarnya anak jauh lebih pandai mencontoh daripada memahami sesuatu yang disampaikan secara lisan. Oleh sebab itu, cara terbaik mengajarkan etika / sopan santun pada anak adalah dengan memberi contoh terbaik secara konsisten, yang bisa anak lihat dan alami dalam aktivitasnya sehari-hari.
Menurut Psikolog Imam Sanny Prakosa Wardhana dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, proses belajar tata krama juga bisa dikuatkan melalui simulasi atau bermain peran. Bermain boneka, misalnya. Untuk itulah Sanny menyarankan agar orangtua ikut terlibat saat anak sedang bermain. Karena dengan begitulah kita dapat menularkan nilai-nilai yang dianggap perlu.
Baca juga: Terapkan Pola Asuh Ini Agar Si Kecil Paham Etika Bersosialisasi
Media audio visual, seperti film-film animasi, juga dapat kita manfaatkan sebagai "model" dalam berperilaku positif. Variasi dalam stimulasi melalui media ini sangat memungkinkan, bergantung pada ketersediaan dan preferensi anak. Pilihan yang tepat akan meningkatkan daya serap anak atas nilai-nilai yang ingin diajarkan.”
Yang penting, pada saat menonton bareng itu, kita ikut memberi penguatan secara lisan—dengan cara wajar dan tidak menggurui—sehingga tidak mengganggu keasyikan dan konsentrasi anak dalam menyerap yang ia sedang amati.
PERLUNYA PENGUATAN
Apa pun cara yang Ibu Ayah pilih, selalu diperlukan penguatan agar anak lebih cepat belajar dan kemudian menerapkan nilai-nilai yang diajarkan tersebut. Ekspresi gembira, puas, bahkan bangga dari orangtua sering kali menjadi penguat paling sederhana sekaligus paling penting untuk memotivasi praktik tata krama anak.
Dalam banyak hal, tambahan ungkapan lisan juga kerap memberi nilai lebih bagi pembelajaran anak. "Ayah suka lihat Adek gembira dan banyak senyum di rumah Om Hardi tadi." Perkataan demikian sekaligus membuat anak paham, perilaku mana yang sudah membuat ayahnya gembira.
Baca juga: Belajar Sopan Di Meja Makan
Penguat dapat pula berupa barang, seperti makanan, minuman, atau mainan. Namun, tentu fokusnya bukan pada nilai material barang, tetapi lebih pada ketepatan waktu pemberian dan kesukaan anak pada barang tersebut. Sering kali barang yang sederhana tetapi tepat pemberiannya, justru memiliki efek penguatan yang nyata.
Contoh: si batita yang biasa caper saat ada tamu, ketika mampu bersikap positif, Ibu bisa berkata, "Adek pinter tadi. Disuruh duduk, mau duduk. Diajak main, Adek juga main dengan gembira. Sampai rumah nanti Ibu masakkan perkedel daging kesukaan Adek ya..." Penguat yang sederhana tetapi mengena ini akan sangat bermanfaat untuk anak belajar tata krama dalam kehidupannya sehari-hari.
TATA KRAMA DASAR
Pertanyaan selanjutnya tata krama apa saja yang perlu diajarkan pada si kecil? Karena merupakan tata cara yang disepakati masyarakat untuk memelihara hubungan baik antarmanusia, tata krama bisa jadi sangat beragam. Sesuatu yang dipandang sopan di satu daerah, belum tentu mendapat penilaian yang sama di daerah lain.
Tetapi secara umum, tata krama dasar yang perlu diajarkan kepada buah hati tidak terlalu banyak, kok. Salah satunya sopan santun dalam berbicara. Ini tentu bukan hal baru bagi setiap orangtua. Mengajari anak mengucapkan tiga kata “sakti”—maaf, tolong, dan terima kasih—biasanya sudah dilakukan sejak dini.
Sebaiknya, ketiga kata ini juga diucapkan pada orang-orang yang sering kali dianggap tidak perlu menerimanya. Dian (39 tahun), misalnya, mengajari anak-anaknya untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa saja—meskipun sering kali dianggap tidak penting oleh orang banyak: kasir di supermarket, penjaga pintu tol, juga penjaga pintu di hotel atau restoran mewah yang memang bertugas membukakan pintu bagi tamu. “Mereka senang kok kalau kita berterima kasih kepada mereka, meskipun apa yang dikerjakan itu memang sudah tugas mereka,” demikian Dian mengungkapkan alasannya.
Ada pula tata krama di meja makan, semisal makan tanpa bersuara atau tidak mengecap, mengambil makanan secukupnya sehingga tidak membuang-buang atau mempermainkan makanan, hingga posisi duduk yang benar. Di Indonesia, masih sulit diterima duduk di meja makan sembari angkat kaki layaknya orang duduk di warung, bukan?
Tata krama lain adalah seputar sosialisasi: mengantre permainan, berbagi, tidak melakukan kekerasan kepada teman, dan sebagainya. Termasuk juga mengajari si kecil untuk tidak tantrum di pertokoan apabila kehendaknya tidak bisa dituruti.
Intinya, rumusan paling penting dalam hal mengajarkan tata krama sebenarnya adalah konsistensi. Sebab, jangan sampai si kecil menemukan celah perbedaan, “Oh, kalau sama Ibu tidak boleh makan sembari angkat kaki, tapi kalau makan sama Ayah boleh duduk seperti itu”.
Baca juga: Ajari Anak MengucapkanTerima Kasih Minta Tolong Dan Permisi
Berikutnya, jangan bosan terus mengingatkan buah hati untuk bersikap sesuai tata krama. Kalau ia masih saja melakukan “kesalahan”, ajak ia bicara mengapa sulit melakukan hal itu. Memarahi anak atau bersikap emosional di depannya bukanlah solusi yang tepat. Tidak ada manfaatnya memarahi si kecil jika ia tak juga mengerti apa yang membuat kita marah.
Sulit? Tidak juga. Menjadi orangtua memang tidak ada sekolahnya, tapi bukan berarti tak bisa dipelajari. Yang penting adalah mengetahui posisi kita dalam kehidupan anak. Seperti kata Kahlil Gibran, “Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.” Selamat belajar menjadi busur yang terbaik untuk anak-anak Ibu Ayah! (*)
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR