Nakita.id - Miris, seorang siswi SMA kelas 1 berinisial WN (16) memutuskan mengakhiri hidupnya dengan meminum racun serangga.
Warga Desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) nekat mengakhiri hidupnya setelah dimarahi oleh sang ibu.
Melansir dari Tribun Jakarta, aksi nekat sang pelajar dilakukan di rumah kakeknya pada Kamis (24/1/2019) pukul 12.50 WITA.
Baca Juga : Sang Ayah Bongkar Aib Vanessa Angel, Dulu Sering Pulang Malam Sama Lelaki Lalu Tidak Pulang 11 Tahun!
Setelah sempat dilarikan ke Puskesmas setempat, akhirnya nyawa WN tidak tertolong dan ia meninggal dunia beberapa menit setelah mendapat perawatan.
Kepala Subagian Human Polres Dompu, Iptu Sabri membenarkan bahwa gadis 16 tahun tersebut meninggal dunia karena menenggak cairan pembasmi serangga.
Hal tersebut dilakukan korban setelah ia dimarahi orangtuanya melalui sambungan telepon.
Saat itu, sang ibu merasa kesal ketika mengetahui kalung emas milik WN hilang.
Baca Juga : Benarkah Sperma yang Terlalu Encer Jadi Penyebab Susah Hamil?
Sakit hati dan tidak terima karena dimarahi ibunya, WN memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
"Aksi bunuh diri itu dilakukan korban di rumah neneknya. Saat itu, ibunya berada di Malaysia menjadi TKW. Sedangkan bapaknya sudah meninggal dunia," kata Sabri.
Melansir dari Nakita.id, cara mendidik orangtua sudah pasti akan membentuk pribadi sang anak hingga mereka dewasa nanti.
Baca Juga : Cara Mengusir Cicak dengan Cepat dan Mudah, Tak Perlu Bayar Mahal!
Cara mendidik dengan memarahi tentu saja bukan pilihan utama karena itu bisa memengaruhi kondisi emosional anak dan hubungannya dengan orangtua.
Lantas, bagaimana cara mendidik anak tanpa memarahi?
Menurut sebuah studi perbandingan teknik membesarkan anak yang diterbitkan oleh Kansas Association for Infant Mental Health berjudul "Disiplin dalam Anak Usia Dini", keluarga Jepang menumbuhkan kelekatan, empati, dan harmoni.
Baca Juga : Bukan Meramal, Mbak You Tulis Nasihat Tentang Karma, Sindir Siapa?
Di sana, setiap anak memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, bahkan sampai tidur bersama hingga usia 6 tahun.
Selama tiga tahun pertama kehidupan seorang anak, ibu mereka membawa mereka ke mana saja bersamanya.
Seorang ibu benar-benar mencurahkan waktunya untuk anak.
Tidak ada anak Jepang yang dititipkan ke tempat penitipan anak atau prasekolah sebelum usia tiga tahun.
Baca Juga : Jangan Pernah Sarapan Terlalu Siang! Begini Dampaknya Bagi Kesehatan
Banyak orangtua Jepang percaya bahwa anak-anaknya berkelakuan baik karena mereka membesarkan anak berdasarkan filosofi Konfusianisme.
Gaya pengasuhan ini berasal dari cita-cita Konfusius untuk mendidik anak-anak dengan kebaikan.
Berdasarkan prinsip ini, ada beberapa komponen pengasuhan anak Jepang yang mendasar, yaitu:
Kekuatan saran
Para ibu di Jepang menggunakan ajakan, saran, serta ejekan atau sindiran halus untuk mendisiplinkan anak.
Mereka menghindari konfrontasi langsung dengan Si Kecil.
Hal ini meminimalkan sikap menantang atau agresif dari anak.
Para ibu Jepang menggunakan saran untuk memberi tahu anak-anak apa yang harus mereka lakukan.
Alih-alih mengatakan "Ambil mainanmu!", mereka justru mengatakan "Apa yang harus kamu lakukan dengan mainanmu sekarang?"
Baca Juga : Awet Muda Alami dengan Minuman Segar Ini, Coba dan Rasakan Manfaatnya!
Anak harus memberikan jawaban yang benar dan mematuhinya.
Jika anak tersebut tidak mau melakukannya bahkan berpura-pura tidak mendengar pertanyaan atau saran, sang ibu akan menggunakan ejekan yang halus.
Biasanya, anak lebih memilih untuk patuh daripada merasa malu dengan sindiran halus sang ibu.
Baca Juga : Calon Pembeli Minta Foto Gaun Asli, Penjual Online Ini Berikan Foto Dirinya Pakai Gaun Wanita
Kekuatan gerak tubuh
Anak Jepang sangat terikat dengan ibu mereka sehingga mereka peka terhadap emosi dan gerak tubuh sang ibu.
Ketika ibu menyarankan sesuatu, anak juga akan melihat ekspresi di wajah sang ibu.
Jika mereka tak patuh, mereka akan mendapati ekspresi terkejut dan kekecewaan di wajah orang yang disayanginya.
Baca Juga : Cara Mudah Merawat Miss V Usai Melahirkan Normal, Tanpa Sakit!
Namun, ibu tidak menghukum anak itu atau langsung memarahinya.
Hanya dengan ekspresi saja, anak akan kembali patuh.
Karena anak disana benar-benar menjaga keharmonisan dengan sang ibu, mereka menghindari konfrontasi dan melakukan apa yang ibunya harapkan.
Baca Juga : Lucunya Lagu 'Makan Anjing Pakai Sayur Kol' Dinyanyikan Gempi, Warganet Malah Puji Gisel, Kok Bisa?
Membaca suasana hati
Ibu-ibu Jepang juga belajar membaca suasana hati anak-anak mereka.
Jika mereka melihat bahwa anak mereka tidak berminat mematuhi permintaan, mereka tidak akan membuat permintaan pada saat itu juga, namun nanti.
Mayoritas orangtua di Jepang melakukan apa pun untuk membuat anak-anak mereka merasa dicintai, dihargai, serta dihormati.
Apa Itu Silent Treatment? Kebiasaan Revand Narya yang Membuatnya Digugat Cerai Istri
Source | : | nakita.id,tribun jakarta |
Penulis | : | Diah Puspita Ningrum |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR