Nakita.id – Kasus perundungan atau bullying yang terjadi di Indonesia bisa dibilang lumayan banyak.
Bullying bisa terjadi di mana saja, namun mirisnya bullying sering kali justru terjadi dalam lingkungan sekolah.
Ketika ada kasus bullying, semua orang menaruh perhatian pada korban.
Dan tanpa disadari, anak yang melakukan bullying, lantas dilabeli sebagai penganggu atau tukang bully.
Mungkin orang yang mengatakan seperti itu merasa kesal dengan sikap anak yang melakukan bullying, tetapi apakah memberi label seperti itu adil untuk seorang anak?
Meskipun ia memang telah melakukan perilaku yang kurang baik.
Label seperti tukang bully, pengganggu, atau korban sering digunakan oleh banyak pihak, mulai dari media, para ahli, maupun masyarakat untuk merujuk pada anak-anak yang menggertak orang lain dan anak-anak yang diganggu.
Alih-alih menyebut seorang anak sebagai "pengganggu," namun alangkah lebih baiknya jika menyebutnya "anak yang mengalami perundungan".
Moms mungkin bertanya-tanya, mengapa hal itu penting? Bukankah lebih mudah mengatakan "pengganggu"?
Memang rasanya agak canggung mengatakan "anak yang dirundung" atau "anak yang merundung."
Namun, melansir dari laman stopbullying.gov, terdapat beberapa alasan penting mengapa kita harus menghindari penggunaan label seperti pengganggu dan korban:
1. Melabeli seseorang memberi pesan bahwa perilaku anak tidak berubah dari satu situasi ke situasi berikutnya.
Sebenarnya, seorang anak dapat memainkan peran yang berbeda dalam bullying, tergantung pada situasinya.
Sebuah penelitian mengonfirmasi bahwa seringkali anak-anak yang melakukan bully, ternyata pernah atau bahkan sering mengalami bullying juga.
Baca Juga : I Am an ActiFE Mom, In Control, and Protected
2. Label menunjukkan bahwa perilaku tersebut adalah suatu hal yang mutlak dan tidak mungkin dapat diperbaiki.
Pada dasarnya, perilaku seseorang terutama anak-anak dapat berubah menjadi lebih baik. Namun, perubahan yang terjadi juga tidak dalam waktu yang cepat.
Salah satu cara untuk memudahkan anak mengubah perilakunya adalah jangan mengaitkan dirinya dengan label “pengganggu” secara terus menerus.
3. Label bisa berbahaya bagi anak-anak.
Dalam bukunya "Mindset: The New Psychology of Success," Psikolog Stanford University Carol Dweck mencatat bahwa label dapat membatasi bagaimana anak-anak melihat diri mereka sendiri, dan juga bagaimana anak-anak dan orang dewasa lainnya melihatnya.
Dweck berpendapat bahwa setiap label menyiratkan pesan yang memberi tahu anak-anak cara berpikir tentang diri mereka sendiri.
Seringkali pesan tersebut berbunyi "Kamu memiliki sifat mengganggu yang tidak dapat diubah dan saya sedang menilai kamu".
Alangkah lebih baiknya jika kalimat tersebut diganti menjadi "Kamu adalah orang yang sedang berkembang dan saya tertarik dengan perkembangamu."
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Menasehati Anak Tidak Harus Membandingkan Lho Moms!
Label juga dapat memengaruhi cara orang lain memperlakukan anak yang melakukan bullying.
Ketika anak-anak dicap sebagai "pengganggu," hal tersebut mungkin menandakan kepada orang lain bahwa mereka adalah anak-anak nakal yang seharusnya dihindari, dan mungkin juga memberi izin orang dewasa untuk menunjukkan rasa tidak sukanya bahkan cemoohan.
Demikian pula, ketika anak-anak dicap sebagai "korban," hal ini dapat mengirim pesan bahwa mereka lemah atau pantas dikasihani, sementara yang sebenarnya mereka butuhkan adalah bantuan untuk menghentikan bullying.
4. Melabeli seseorang dapat menunjukkan bahwa bullying adalah murni "kesalahan" anak, sekaligus membuat kita mengabaikan faktor-faktor lain yang berkontribusi pada terjadinya perilaku intimidasi.
Setiap anak tentunya memiliki kepribadian dan temperamen yang berbeda.
Namun, di balik itu ada banyak faktor yang menyebakan bullying terjadi, seperti pengaruh teman sebaya, kondisi internal keluarga, dan iklim di sekolah.
Maka dari itu, untuk mengurangi intimidasi, penting sekali untuk memperhatikan berbagi faktor.
Jadi, jika suatu saat Moms melihat ada kejadian bullying atau Si Kecil mengalaminya, jangan lagi menggunakan label “pengganggu” atau “korban” ya Moms.
Marilah kita fokus pada perilaku, bukan pada label.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Anak Tipikal yang Keras Kepala? Cara Atasinya Mudah Kok Moms
Source | : | stopbullying.gov |
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR