Nakita.id - Bu Mayke, anak pertama saya laki-laki berusia 30 bulan. Dia sangat aktif, pintar tapi cenderung “galak”. Dia suka menggigit, memukul, menendang, atau melempar benda pada orang yang dia anggap mungkin akan merugikannya. Saya pikir dia hanya bermaksud mengajak bercanda atau bersikap mempertahankan diri ketika mainan/barang miliknya direbut. Hanya saja, caranya kasar. Kalau dilarang, dia akan semakin bereaksi negatif.
Dia juga suka berkata buruk seperti (maaf) “gila” pada orang yang melarangnya. Saya tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan kebiasaan buruknya. Saya berusaha sabar. Ketika dia melakukan hal buruk, saya coba mendiamkan dulu lalu berusaha mencegah dengan menahan tangannya, misalnya pada saat dia mau memukul adiknya. Atau saya peluk ketika dia mulai marah, berusaha menasihati dia ketika sudah reda kemarahannya.
Perlu diketahui, situasi dan lingkungan terkadang tidak mendukung saya untuk membuat anak tidak “nakal” lagi. Misal, suami suka membentak (galak) dan mengancam ketika si kecil melakukan kesalahan, tante-tantenya suka bicara kasar/buruk ketika mengobrol di telepon atau dengan teman-temannya. Seolah tidak mau tahu atau tidak menyadari bahwa ada anak kecil yang mendengarkan.
Saya sudah sering mengingatkan suami untuk tidak bersikap kasar dan berusaha untuk kompak dalam mendidik anak. Demikian halnya juga kepada adik ipar saya. Pasalnya, anak saya suka sekali menirukan apa yang dia dengar dan lihat. Bu, apa yang harus saya lakukan untuk menangani sikap buruk anak? Apakah memang normal anak seusia ini melakukan hal itu? Apa yang harus saya lakukan untuk mengingatkan sikap suami dan adik ipar supaya mereka mengerti tapi juga tidak membuat mereka tersinggung? Demikian, atas bantuannya saya ucapkan terima kasih.
Siti Munawaroh - Jakarta
Jawab:
Anak kecil sangat cepat meniru kelakuan dan kata-kata orang-orang di sekitarnya, tidak heran kalau dia suka bertindak kasar dan mengucapkan kata-kata yang buruk. Anak melihat hubungan sebab-akibat secara sederhana. Kalau aku melakukan tindakan yang membuat seseorang marah, orang tersebut memukul, berarti kalau aku marah, aku akan memukul. Anak tidak terlalu paham apa arti kata “gila” dan dampaknya pada orang yang dikatai “gila”. Anak kecil tidak paham bahwa kata “gila” bisa diterapkan pada berbagai situasi, bisa untuk mengumpat seseorang, sebagai ledekan pada orang lain, atau untuk menggambarkan perilaku orang yang tidak waras.
Hal lain yang membuat anak bertindak kasar adalah karena dia merasa keinginannya terhambat. Berhubung pemikirannya masih sederhana, maka tindakan kasar dilakukan semata-mata dengan mencapai keinginannya, bukan benar-benar ditujukan untuk menyakiti orang lain atau merusak barang, hal ini dikenal sebagai instrumental aggression. Namun kalau perilaku kasar tidak ditangani sejak sekarang, maka bisa saja berkembang menjadi perilaku agresif yang bertujuan untuk menyakiti atau menyerang orang lain. Hal ini berkembang dari reaksi lingkungan sekitarnya terhadap anak.
Faktor lain yang berperan adalah kepribadian, ada anak-anak yang cenderung kurang sabar, mudah marah, sulit diajak bekerja sama. Menghadapi anak-anak dengan kepribadian seperti ini dibutuhkan kesabaran yang lebih tinggi dari orangtua. Menurut informasi Siti, suami sulit diajak kompromi untuk tidak bertindak kasar pada si kecil. Saya berasumsi, suami Anda termasuk temperamental sehingga kemungkinan besar anak mewarisi sebagian kepribadian suami yang temperamental.
Bagaimana solusinya? Sepertinya jalan terbaik adalah tinggal di rumah sendiri, mengontrak pun tidak apa-apa, karena Siti sudah berusaha berbicara dengan adik ipar, tetapi mereka tidak berubah. Banyaknya orang dewasa sudah jelas menyebabkan anak ditangani dengan perlakuan dan peraturan yang berbeda-beda sehingga situasi ini kurang sehat bagi pertumbuhan anak. Ibarat tanaman yang baru tumbuh, anak membutuhkan tanah yang subur dan air yang cukup, tidak kurang dan tidak berlebihan. Apabila si kecil diibaratkan tanaman muda, maka sekarang ini tanahnya tidak subur. Rumah sebagai basis dia tinggal, seharusnya membuatnya tenang, nyaman, jelas aturannya, sedangkan sekarang ini keadaan adalah sebaliknya.
Tinggal di rumah sendiri ada konsekuensi positif dan negatif. Nah, tinggal meminimalkan konsekuensi negatif, dengan cara menyiasati agar rumah terpelihara, anak terperhatikan. Dengan tinggal di rumah sendiri, siapa tahu ketegangan suami menurun dan jadi tidak sering marah ketika si kecil berperilaku yang tidak diharapkan. Tekankan pada suami, kalau anak bertingkah laku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, bukan berarti si anak ini nakal. Dia tidak nakal, yang tidak dikehendaki adalah tindakannya. Jadi, jangan terlalu mudah mencap dia nakal. Cukup menyatakan bahwa yang tidak disukai adalah perbuatannya melempar barang, menendang orang lain, dan sebagainya. Sekian dulu Siti, mudah-mudahan suami dan keluarga besar mau ikutan membaca tulisan ini, salam.
Wapres Gibran Minta Sistem PPDB Zonasi Dihapuskan, Mendikdasmen Beri Jawaban 'Bulan Februari'
KOMENTAR