Nakita.id – Pandemi Covid-19 melanda seluruh belahan dunia.
Virus yang pertama teridentifikasi di Wuhan itu kini telah memakan ribuan korban jiwa.
Sampai saat ini belum ada obat yang terbukti manjur untuk mengatasi penyebaran Covid-19.
Jadi, seberapa jauhkah penemuan obat dan vaksinnya?
Para ilmuwan di seluruh dunia telah melakukan penelitian untuk mencari kandidat obat dan sejauh ini telah ada 150 obat berbeda yang diuji.
Mayoritas adalah obat-obatan yang sudah ada lalu diuji untuk melihat apakah efektif melawan virus corona baru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meluncurkan the Solidarity trial yang bertujuan untuk menguji terapi yang paling menjanjikan.
Sementara itu ilmuwan di Inggris melakukan riset yang disebut Recovery Trial dengan melibatkan lebih dari 5.000 pasien.
Riset itu disebut-sebut sebagai yang terbesar.
Berbagai penelitian juga sedang berlangsung di seluruh dunia dengan menggunakan sampel darah penyintas Covid-19, termasuk yang dilakukan para ahli di lembaga Eijkma Indonesia.
Jenis obat apa yang mungkin efektif?
Setidaknya ada tiga pendekatan obat yang sedang dikembangkan:
- Obat antivirus yang secara langsung memengaruhi kemampuan virus corona untuk masuk ke dalam tubuh.
- Obat yang bisa menenangkan sistem imun, karena kondisi kritis pada pasien positif corona terjadi saat sistem imun bereaksi berlebihan dan mulai menyebabkan kerusakan sistemik pada tubuh.
- Antibodi, baik yang berasal dari contoh darah pasien yang sembuh atau buatan di laboratorium, yang mampu menyerang virus.
Setelah mengunjungi China, Dr.Bruce Aylward dari WHO mengatakan remdesivir, sebuah obat antivirus, merupakan obat yang sejauh ini paling efektif.
Obat tersebut awalnya dibuat untuk mengatasi Ebola, tetapi penggunaannya pada penyakit lain ternyata efektif.
Sebelumnya remdesivir juga terbukti efektif mengatasi penyakit MERS dalam ujicoba pada hewan.
Sebuah penelitian yang dilakukan tim dari Universitas Chicago menunjukkan hasil serupa.
Saat ini remdesivir termasuk salah satu dari empat obat yang diteliti WHO dan juga perusahaan farmasi penemunya, Gilead.
Potensi Obat HIV dan Antimalaria
Beberapa waktu lalu juga sempat diberitakan bahwa bagian dari obat HIV, lopinavir dan ritonavir, efektif untuk mengatasi virus corona.
Penelitian di laboratorium memang menjanjikan, tapi ketika diuji pada manusia ternyata hasilnya mengecewakan.
Kombinasi obat itu tidak berhasil meningkatkan kesembuhan, mengurangi angka kematian atau menurunkan kadar virus pada pasien Covid-19 yang sakit berat.
Kendati begitu, percobaan itu dilakukan pada pasien yang kritis (hampir meninggal) sehingga mungkin sudah terlambat untuk diobati.
Sementara itu, obat malaria Klorokuin juga termasuk dalam obat yang diuji oleh WHO.
Obat antimalaria lainnya adalah hidroklrokuin, yang juga sudah dipakai untuk mengatasi artritis rheumatoid karena mampu memperbaiki kondisi sistem imun.
Penelitian di lab menunjukkan obat antimalaria ini bisa menghambat virus corona dan menurut beberapa dokter bisa membantu mengobati.
Namun begitu, karena bukti penelitiannya masih sedikit WHO belum menyatakan obat ini efektif.
Peluang menggunakan darah penyintas
Orang yang sudah sembuh dari infeksi (penyintas) akan memiliki antibodi dalam darahnya yang bisa menyerang virus.
Untuk mendapatkan antibodi itu dokter akan mengambil plasma darah (bagian darah yang mengandung antibodi) dan memberikannya sebagai obat pada pasien yang sakit.
Sampai ditemukannya obat yang tepat, sementara ini dokter mengobati pasien yang dirawat di rumah sakit sesuai gejala yang dirasakan. Pasien yang mengalami gangguan pernapasan diberikan bantuan oksigen.
Sedangkan pasien dengan gejala ringan cukup dengan melakukan istirahat total di tempat tidur, parasetamol, serta mencukupi kebutuhan cairan tubuh.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com, dengan judul: Menilik Kandidat Terkuat Obat Infeksi Covid-19
Source | : | kompas |
Penulis | : | Ela Aprilia Putriningtyas |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR