Nakita.id – Semakin Si Kecil tak mau diatur, semakin gencar Moms dan Dads memaksanya mengikuti instruksi, bahkan sambil berteriak dan marah.
Nah, bagaimana caranya agar Si Kecil memiliki kedisiplinan tanpa perlu dipaksa dan disuruh berkali-kali?
"Pola asuh yang tepat adalah jawabannya," kata psikolog Laura Markham, Ph.D.
Seperti apa pola asuh yang tepat?
BACA JUGA: Ibunya Awet Muda Meski Sudah Berusia 50 Tahun, Anak Ini Justru Sedih
Pertama, anak perlu paham bahwa dirinya dicintai meski pernah melakukan kesalahan.
“Pastikan bahwa orangtua dan anak punya waktu bersama,” tambahnya.
Jadi, Moms dan Dads perlu pandai dan bijaksana dalam menghadapi anak.
Marah-marah memang manusiawi namun perlu diimbangi dengan kegiatan yang menyenangkan bersama anak.
Kedua, menurut Markham, “Orangtua harus memiliki kemampuan dalam mengelola emosinya, sebab ketika anak tidak patuh dan orangtua marah, anak malah tidak akan mendapatkan pembelajaran dari apa yang telah ia lakukan."
Paksaan, hardikan dan teriakan, apalagi dengan nada kemarahan hanya akan membuat anak takut dan merasa tidak aman.
Anak juga merasa harga dirinya dilukai.
Dalam jangka panjang, dampaknya adalah anak jadi mudah gelisah, tidak percaya diri, dan rentan terhadap intimidasi.
BACA JUGA: Jangan Lupa Coba Potato and Onion Cream Soup untuk Sarapan Istimewa
Ketiga, Moms dan Dads harus melihat kemampuan anak dalam menjalankan instruksi.
Bisa jadi anak tidak menurut karena bingung atau tidak paham apa yang harus dilakukan. Karenanya, contoh yang baik dan konsisten dari orangtua merupakan kunci dari terbangunnya disiplin pada anak.
Keempat, konsistensi juga berlaku pada penerapan aturan. Bukan berarti agar anak merasa disayang ia boleh tidak ikut aturan dan dikabulkan semua keinginannya. Bagaimanapun anak harus belajar berempati, mengalah pada orang lain yang lebih berhak, mau menunggu dan mengantre, cuci kaki dan gosok gigi sebelum tidur, berdoa sebelum makan, dan sebagainya yang merupakan hal positif.
Kelima, jika anak dengan sengaja melanggar aturan, orangtua tidak perlu marah berkepanjangan, tetapi berlakukan konsekuensi dari perilaku anak tersebut.
Penghapusan atau pengurangan kesenangan biasanya efektif dijadikan konsekuensi bagi perilaku anak yang tak diharapkan.
MENGHADAPI SI PEMBANTAH
Lalu bagaimana jika anak membantah perintah orangtua atau justru balik membentak?
Setelah mampu berkata "tidak" anak pada dasarnya memiliki otonomi diri untuk menentukan kemauannya.
Ia tidak akan bersedia begitu saja tunduk terhadap perintah.
Sikap ini sebetulnya merupakan perkembangan wajar dari seorang anak.
Bahkan otonomi diri diperlukan untuk mengembangkan kemandirian dan independensi yang berguna di kemudian hari.
BACA JUGA: Kecewa Riasan Pernikahan Jelek, Setelah Diperbaiki Hasilnya Wow!
Anak yang suka membantah atau membentak tidak perlu dihadapi dengan amarah dan teriakan.
Salah-salah sikap orangtua yang sama kerasnya justru menyebabkannya anak menjadi lebih agresif.
Yang harus Moms dan Dads lakukan adalah menjalin hubungan dari hati ke hati dengan si kecil.
Niscaya, ia akan mau bersikap terbuka dan menerima masukan orangtuanya.
"Bermain bersama, berinteraksi, dan berkomunikasi hangat akan membuat anak jauh lebih menerima orangtua," kata Markham.
Di zaman yang semakin maju dan cepat ini, bermain bersama dan berinteraksi dengan anak tanpa godaan gadget memang bukan hal yang mudah.
Sebuah studi yang dilakukan University of Michigan, AS dan diterbitkan dalam jurnal Child Development menemukan bahwa masalah perilaku anak dapat dikaitkan dengan perilaku orangtua yang terlalu sibuk dengan gadget.
Nah, apakah Moms dan Dads bersedia mengubah hal ini?
Source | : | Tabloid Nakita |
Penulis | : | Gisela Niken |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR