Nakita.id - Stunting di Indonesia menurut Riskesdas 2013, 2018 sebesar 30.8% atau 3 dari 10 anak Indonesia stunting.
Jika dibiarkan stunting menyebabkan jangka pendek yaitu pertumbuhan fisik dan otak tidak optimal, kekebalan tubuh menurun, dan kemampuan kognitif dan prestasi belajar menurun.
Sedangkan jangka panjang stunting adalah resiko tinggi munculnya PTM (diabetes, penyakit jantung, dan pembuluh darah), produktivitas ekonomi rendah, dan kualitas kerja yang tidak kompetitif.
Prof. Dr. Sandra Fikawati, MPH, dalam liputan virtual "Kolaborasi JAPFA Menciptakan Generasi Unggul" pada Selasa (22/12/2020) mengucapkan petumbuhan 1000 hari pertama anak penting.
"Bila terjadi gangguan pada masa itu otomatis pertumbuhan otak dan fisik akan terganggu. Dari stunting kita bisa melihat apalagi di usia anak 2 tahun, dari tingginya.
Kalau anak 2 tahun tingginya pendek itu ada gangguan pada pertumbuhan otaknya. Karena pertumbuhan ini kan bersamaan. Kalau dia pendek pasti pertumbuhan otaknya juga akan mengalami gangguan," jelasnya.
Baca Juga: Satu Lagi Manfaat Luar Biasa dari ASI, Bisa Menurunkan Risiko Terjadinya Stunting pada Si Kecil
Prof Sandra menjelaskan dalam Riskesdas 2018 dijelaskan wanita hamil di Indonesia kurang energi kronis.
"Gampangnya wanita Indonesia kurang makan sebenarnya. Sekitar 17,3% tapi hanya di tengah bahkan di NTT hampir 40%," katanya.
Di sisi lain kurang lebih 70-80% ibu hamil, yang tinggal di desa/kota - miskin/kaya belum tercukupi konsumsi energi dan proteinnya.
"Padahal kecukupan gizi ibu adalah modal kalau kita mau menghasilkan generasi yang baik," imbuhnya.
Dampak ibu kurang energi kronis
Prof Sandra mengatakan kalau ibu hamil kurang energi kronis/kurang gizi maka dia akan kekurangan cadangan lemak.
Padahal, cadangan lemak berfungsi memproduksi ASI, dan ASI diberikan untuk bayi agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.
Belum lagi kondisi ibu hamil terkena anemia.
Baca Juga: Luka Jahitan Pasca Persalinan Terasa Sakit? Ternyata 3 Penyebab Ini Jadi Biang Keladinya
"Kalau tadi KEK (kurang nutrisi makro, energi dan protein terutama), kalau anemia ini kurang zat gizi mikro terutama zat besi.
Zat besi itu juga sangat penting buat pertumbuhan bayi dan anak," jelas Prof Sandra.
Dampak anemia pada ibu hamil
"Gangguan pertumbuhan janin, kematian janin, bayi lahir dengan berat badan rendah.
Apakah anemia akan hilang setelah melahirkan? Tidak.
Karena ibu menyusui mudah mengalami anemia karena cadangan zat besi menipis dan kehilangan darah saat melahirkan," ucap Prof. Sandra.
Baca Juga: Sering Khawatir Anak Kurang Gizi karena Menolak Makanan, Ternyata Ini Penyebab Si Kecil Susah Makan
Prof Sandra mengucapkan anemia pada ibu menyusui terjadi karena mengalami anemia selama kehamilan dan jika asupan energi dan zat gizi tidak memadai.
Oleh karena itu, ibu menyusui harus mengonsumsi energi sebesar 2580 kal/hari dibandingkan saat hamil sebesar 2550 kal/hari.
Faktor penyebab rendahnya konsumsi energi ibu menyusui
Kurangnya pengetahuan, kesibukan ibu mengurus bayi, berkurangnya konsumsi susu dan suplemen, adanya pantangan makan, dan kurangnya informasi dari tenaga kesehatan.
Jadi, baik ibu hamil dan menyusui harus memenuhi energi dan zat gizi agar buah hati tidak mengalami stunting.
Penulis | : | Cecilia Ardisty |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR